Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Shipyard di Batam Terkendala SDM, Material dan Insentif Fiskal

Ketua Harian Batam Shipyard Offshore Association (BSOA) Novi Hasni mengatakan pada semester I/2023 ini, pesanan kapal meningkat hampir 100 persen.
Industri galangan kapal atau shipyard di Batam
Industri galangan kapal atau shipyard di Batam

Bisnis.com, BATAM - Pertumbuhan industri galangan kapal atau shipyard di Batam terus menunjukkan tren positif. Sejak lepas dari Covid-19, pertumbuhannya cukup pesat khususnya untuk pembuatan kapal baru, seperti tongkang atau barge dan juga tugboat.

Pemesanan kapal juga didorong oleh penghiliran minerba di Sulawesi, serta proyek offshore seperti pembangunan windfarm di Asia Timur.

Ketua Harian Batam Shipyard Offshore Association (BSOA) Novi Hasni mengatakan pada semester I/2023 ini, pesanan kapal meningkat hampir 100 persen dibanding tahun sebelumnya.

"Saya sudah cek, banyak anggota BSOA full pekerjaan di awal tahun. Jadi kalau ada yang pesan sekarang, maka tahun ini tidak bisa selesai," katanya, Kamis (25/5/2023).

Saking ramainya pesanan, banyak shipyard di Batam yang menyewa lahan shipyard lainnya. "Beberapa shipyard dalam satu periode bisa mengerjakan 20 tongkang, tapi di lahannya sendiri tidak muat sehingga menyewa lahan milik shipyard lainnya," ujarnya.

Adapun klien paling ramai datang dari dalam negeri, dimana di Indonesia bagian timur khususnya Sulawesi memang membutuhkan kapal tugboat dan barge untuk mengangkut minerba seperti nikel. "Dulu hanya pesan salah satu kapal saja, tapi sekarang satu set," jelasnya.

Selain untuk mengangkut minerba, peningkatan jumlah pesanan kapal ke Batam juga karena banyak kapal yang tidak beroperasi saat pandemi Covid-19 kemarin.

"Selama 2 tahun pandemi banyak kapal-kapal yang tak beroperasi, jadi daripada maintenance lebih bagus buat kapal baru. Banyak juga kapal-kapal yang sudah tak layak angkut," jelasnya.

Setelah itu, proyek offshore juga sangat ramai beberapa tahun terakhir ini. Proyek seperti eksplorasi minyak dan gas (migas) serta pembangunan windfarm atau kincir angin di laut menjadi faktor yang mendorong tingginya kegiatan shipyard di Batam.

"Di Taiwan itu lagi kembangkan windfarm, dan konstruksi kapalnya banyak dikerjakan di Batam. Kenaikan saat ini memang mengejutkan hampir 100 persen, dari yang tidak ada kegiatan saat pandemi, tiba-tiba meledak dengan demand yang cukup tinggi," ucapnya.

Meski begitu, masih ada sejumlah kendala yang dihadapi pelaku industri shipyard di Batam. Kendala pertama yakni terkait kekurangan tenaga kerja berkompetensi, khususnya welder atau tukang las, lalu heavy lifting operator dan juga fitter.

"Kami kewalahan dengan kurangnya SDM. Saat pandemi 2 tahun lalu, banyak pengurangan tenaga kerja, sehingga memilih keluar Batam. Dan yang ada saat ini masih tenaga kerja baru tamatan SMA yang memang belum siap untuk industri. Dengan banyaknya pekerjaan baru, kami butuh orang berskill sebanyak 5.000 orang," tuturnya.

Kendala berikutnya yakni material, khususnya plat besi. Mengenai material ini, saat ini industri shipyard di China juga sedang tumbuh positif. Pelat besi di Batam banyak yang diimpor dari negeri tirai bambu tersebut, karena suplai dari domestik sendiri belum mencukupi.

"Sebagian besar pelat baja datang dari China, tapi disana juga kebutuhan material juga tinggi. Dulu juga dapat dari Ukraina dan Rusia, tapi sekarang lagi perang, maka kita berharap ke China. Tidak hanya pelat, kebutuhan main engine juga tinggi. Kalau pesan sekarang, menunggunya bisa 4 bulan atau lebih," ungkapnya.

Dan kendala terakhir, yakni terkait insentif fiskal. Industri shipyard di Batam sangat berharap agar ada pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 tentang impor bahan baku.

Persoalan ini pernah mengemuka beberapa tahun lalu. Dalam hal ini, shipyard mengalami kelebihan bayar di tahun 2019 hingga Rp 8 miliar.

"Kami mengusulkan agar shipyard di Batam hanya dikenai PPh Final saja. Karena PPh 22 tersebut, yang kena bayar yakni pemilik shipyardnya, bukan pemilik kapal. Besar PPh tersebut 2,5 persen dari harga kapal atau bahan baku kapal. Ini masih kami perjuangkan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF)," tuturnya.

Sementara itu pelaku shipyard, Hendro Hartarto mengatakan shipyard ini merupakan industri ketiga terbesar yang ikut menyumbang perekonomian Kepri tumbuh 6,84 persen tahun lalu.

"Kendala yang ada saat ini memang dari material dan SDM. Kami kekurangan ribuan welder. Ini isu cukup besar, karena permintaan lokal meningkat. Disisi lain, kebutuhan welder di luar negeri juga meningkat, lalu gajinya juga lebih besar," pungkasnya. (K65)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper