Bisnis.com, PADANG - Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat menghentikan 3 tambang galian C di Aia Dingin, Kabupaten Solok, yang telah menyebabkan bencana alaman di desa itu, dinilai belum sepenuhnya melindungi nyawa masyarakat yang ada di desa tersebut.
Juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar Tomy Adam mengatakan dari pemetaan yang dilakukan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), terdapat 5 tambang yang beroperasi, baik itu yang legal maupun yang ilegal. Sementara yang telah dihentikan sementara itu oleh Pemprov Sumbar melalui Dinas ESDM, untuk 3 pertambangan saja.
"Ada 5 tambang di Desa Aia Dingin itu. Bahkan dari pendampingan yang kami lakukan terhadap masyarakat di sana sejak 2022 lalu. Akibat aktivitas galian C itu, telah menyebabkan terjadi bencana alam. Artinya kegiatan tambang di galian C itu telah merugikan negara senilai Rp30 miliar. Ini baru untuk satu tambang saja, sementara di desa itu ada lima perusahaan tambang," katanya saat aksi demo Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar, di depan Kantor Dinas ESDM Sumbar, di Padang, Kamis (25/4/2024).
Tomy, yang juga Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup WALHI Sumbar ini menyatakan meski telah ada pernyataan dari Dinas ESDM Sumbar soal menghentikan 3 aktivitas tambang galian C di Aia Dingin, baik yang legal maupun yang illegal, tidaklah serta merta memberikan kepastian bahwa tambang galian C di desa tersebut berhenti sepenuhnya.
"Apa yang telah disampaikan Dinas ESDM Sumbar itu, sifatnya penghentian sementara. Artinya kami melihat ada peluangan akan dimulai kembali aktivitas tambangnya. Nah, ini yang kami minta ke Pemprov Sumbar sikap dan kebijakan tegasnya, tutuplah 5 tambang di sana secara permanen, baik yang legal apalagi yang illegal," tegasnya.
Tomy menyatakan kebijakan tegas dari Pemprov Sumbar sangat diperlukan, karena jika hanya penghentian aktivitas tambang galian C bersifat sementara, secara tidak langsung, nyawa-nyawa masyarakat yang ada di Aia Dingin itu jadi terancam.
Baca Juga
Dia berpendapat, dengan adanya aktivitas tambang itu, telah memicu terjadinya bencana alam dan turut mengganggu pengrusakan jalan nasional. Apalagi di wilayah itu merupakan rawan bencana alam.
Hal ini dikarenakan, secara geologi di kawasan Aia Dingin merupakan kawasan rentan bencana, salah satu indikator nyatanya adalah kawasan yang dilewati patahan sesar semangko Sumatra.
Sementara itu, eksplorasi dan eksploitasi tambang masuk pada kategori kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana.
Kondisi di Aia Dingin tersebut bukanlah cerita baru, tapi krisis ekologis di kawasan Aia Dingin telah dan terus terakumulasi dari tahun ke tahun.
"Kami menilai, pemicu utamanya adalah pemberian izin tambang tanpa mempertimbangkan secara mendalam aspek risiko bencana dan krisis lingkungan, serta pembiaran aktivitas tambang illegal sejak lama," sebutnya.
Tomy menegaskan akumulasi dari krisis ekologis di kawasan Aia Dingin menyebabkan bencana ekologis berupa banjir dan longsor terjadi sepanjang tahun, baik dalam skala kecil, maupun skala besar.
Sehingga situasi krisis itu, telah menempatkan masyarakat sekitar berada dalam ancaman kematian, sebab kualitas lingkungan di kawasan pemukiman dan wilayah kelolanya terus menurun.
"Pemerintah seharusnya memprioritaskan masyarakat di Aia Dingin itu. Apakah nilai tambang di sana seharga manusia yang tinggal di sana atau pengendara yang lewat di sana?" ucapnya.
Bicara soal jalan nasional di Aia Dingin, bencana ekologis berupa banjir dan longsor di kawasan Aia Dingin juga mengancam keselamatan pengguna jalan, baik pengguna jalan di dalam Provinsi Sumbar, maupun pengguna jalan dari dan menuju Provinsi Jambi.
Bahkan bencana tersebut juga mengganggu dan menimbulkan kerugian secara sosial-ekonomi masyarakat, sektor pergerakan barang dan jasa menjadi terganggu.
Selain itu, situasi bencana ekologis yang terus berulang, juga turut mengganggu perjalanan pariwisata Sumbar yang khususnya di Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan.
"Jadi hasil analisis kami menyimpulkan bahwa akumulasi krisis ekologis di kawasan Aia Dingin telah menyebabkan kerugian pada perekonomian negara, kualitas lingkungan hidup yang terus menurun menjadi beban keuangan negara," kata dia.
Setidaknya dari kajian valuasi ekonomi yang dilakukan tim WALHI Sumbar terhadap dampak ekologis yang terjadi pada lokasi terdampak tambang, terdapat kerugian sekitar Rp30 miliar.
Dari hasil permodelan terdapat 23,2 ha lahan pertanian terdampak, serta untuk data rumah warga yang rusak sebanyak 52 unit rumah, dan 192 jiwa terdampak.
"Kami khawatir, kebijakan sebatas penghentian sementara aktivitas tambang hanya akan menyamarkan penyebab utama bencana ekologis, dapat melanggengkan dan menyembunyikan kejahatan lingkungan, terindikasi kompromi perizinan, serta tidak berbasis mitigasi bencana," jelas Tomy.
Dikatakannya situasi tersebut juga akan menarik tanggung jawab pelaku investasi yang merusak lingkungan menjadi tanggung jawab rakyat. Pihaknya mendesak pemerintah juga harus mengambil kebijakan yang menagih secara tegas tanggung jawab pelaku tambang, baik yang illegal maupun yang tidak lengkap perizinannya.
Menurutnya UU Minerba, UU Lingkungan Hidup dan UU Kebencanaan, cukup menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban pelaku tambang secara hukum.
"Mestinya ada kebijakan yang menghukum mereka untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup dengan cara, hentikan permanen sumber pencemar dan perusak lingkungan (tambang), remediasi, rehabilitasi dan restorasi lingkungan," tutupnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumbar, Herry Martinus mengatakan telah memastikan bahwa ada 3 perusahaan pemilik izin usaha pertambangan (IUP) di sepanjang jalan nasional Air Dingin, Kabupaten Solok, tidak lagi beroperasi.
"Jadi ada tambang legal dan illegal yang harus diminta hentikan operasi aktivitas tambang. Karena kondisi jalan nasional di wilayah itu rusak parah. Caranya, ya harus menghentikan aktivitas tambang," katanya.
Dia menyebutkan kesepakatan menghentikan aktivitas tambang itu diperoleh setelah Pemprov Sumbar menggelar rapat pada 28 Maret 2024 lalu, yang diikuti oleh Dinas ESDM Sumbar, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar, Dinas PMPTSP Sumbar, Dinas BMCKTR Sumbar, Inspektur Tambang Wilayah Sumbar Kementerian ESDM, Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Sumbar, Dinas LH Kabupaten Solok, serta Dinas PUPR Kabupaten Solok.
Tiga perusahaan legal yang memiliki IUP tersebut yaitu PT Bukit Villa Putri, PT Sirtu Air Dingin, dan CV Putra YLM.
"Kami dari Pemprov Sumbar sudah berkoordinasi dengan Inspektur Tambang Kementerian ESDM untuk mengevaluasinya, sehingga keluar rekomendasi penghentian sementara operasi ketiga perusahaan tersebut, karena ada kewajiban pengelolaan lingkungan yang tidak dijalankan," ucapnya.
Dikatakannya dari ketiga perusahaan tersebut dua perusahaan memiliki izin lingkungan yang diterbitkan oleh Pemprov Sumbar. Sementara itu, satu perusahaan yaitu PT Sirtu Air Dingin, mengantongi izin lingkungan yang diterbitkan oleh Pemkab Solok.
Herry juga mengakui bahwa untuk kondisi geologinya, Air Dingin itu adalah daerah patahan semangko Sumatra, dimana tanahnya bergerak sekitar 2 hingga 3 sentimeter per tahun.
Hal tersebut yang membuat bukit dan bebatuan kerikil di sana gampang jatuh, ditambah lagi lerengnya cukup terjal. Sehingga aktivitas tambang masyarakat bisa dilakukan secara sederhana saja, tapi efeknya air dan material bekas tambang mudah mengalir ke jalan.