Bisnis.com, PEKANBARU — Pelaku industri sawit nasional tengah menghadapi tekanan berat dalam menembus pasar ekspor, khususnya ke Amerika Serikat.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Edi Martono mengungkapkan meskipun Amerika merupakan salah satu pasar strategis, tantangan yang dihadapi semakin kompleks akibat berbagai hambatan tarif dan nontarif.
Menurut Edi, saat ini Indonesia menghadapi tiga jenis beban ekspor ke Amerika Serikat, yakni kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Pungutan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK).
Akumulasi ketiga beban tersebut menyebabkan total biaya ekspor produk sawit Indonesia ke Negeri Paman Sam mencapai US$191 per ton, meskipun sempat turun dari posisi sebelumnya di angka US$221 per ton.
“Namun demikian, jika dibandingkan dengan Malaysia, beban biaya ekspor kita masih jauh lebih tinggi. Malaysia hanya dikenakan sekitar US$140 saja per ton,” ujar Edi dalam agenda Forum Andalas V di Pekanbaru, Kamis (22/5/2025).
Dia menambahkan posisi tarif tinggi ini membuat harga sawit Indonesia menjadi tidak kompetitif di pasar global. Memang diakui pihaknya Amerika memang bukan hanya mengimpor sawit dari Indonesia, tetapi juga dari negara-negara lain seperti Malaysia. Sehingga tidak heran jika pelaku usaha bisa saja bergeser mencari alternatif negara pemasok yang lebih murah.
Baca Juga
Edi menegaskan pentingnya perhatian khusus dari pemerintah terhadap isu ini. Ia mendorong adanya kebijakan perlakuan khusus atau special treatment terhadap ekspor sawit ke Amerika Serikat agar Indonesia tidak kehilangan pangsa pasar penting tersebut.
“Perlu diketahui, pangsa pasar minyak sawit Indonesia di Amerika saat ini mencapai 89 persen. Ini angka yang sangat besar dan sayang jika terus tergerus karena kita kalah bersaing dari sisi harga,” tegasnya.
Dirinya optimistis, dengan dukungan kebijakan pemerintah yang tepat sasaran, ekspor sawit Indonesia ke Amerika bisa kembali meningkat. Bahkan, ia menargetkan volume ekspor bisa mencapai tambahan 3 juta ton dalam dua tahun ke depan.
Sementara itu Kementerian Pertanian menegaskan komitmennya untuk terus mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit nasional, di tengah tantangan domestik dan tekanan global yang semakin kompleks.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto menyampaikan hal tersebut dalam forum diskusi sektor sawit yang digelar di Pekanbaru.
"Industri sawit memiliki kontribusi sangat besar terhadap perekonomian nasional, khususnya di Provinsi Riau," ujar Heru.
Dia menegaskan peran strategis sawit tidak hanya menopang kesejahteraan petani, tetapi juga mendukung ketahanan pangan dan energi nasional.
Namun demikian, Heru tidak menutup mata terhadap berbagai persoalan yang dihadapi pelaku industri. Dia menyebutkan tantangan dalam industri ini tidak pernah berhenti, baik dari sisi regulasi, produktivitas, maupun hambatan perdagangan internasional.
“Oleh karena itu, forum-forum seperti ini sangat penting sebagai wadah diskusi dan masukan bagi pemerintah. Harapannya, kebijakan yang akan diambil bisa lebih sinkron dengan kebutuhan pelaku industri di lapangan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Heru menyoroti dinamika global yang memengaruhi ekspor sawit Indonesia. Selain hambatan dari Amerika Serikat, muncul pula ketegangan geopolitik antara India dan Pakistan yang berpotensi berdampak terhadap pasar ekspor.
Meski begitu, pemerintah tetap proaktif dalam merespons perkembangan tersebut. Heru mengungkapkan pihaknya bersama kementerian terkait telah mengikuti berbagai rapat yang dipimpin Menko Perekonomian untuk membahas strategi menghadapi tekanan internasional.
“Kami mencatat bahwa tanggapan dari Amerika terhadap Indonesia sejauh ini cukup positif, meski tetap ada tuntutan-tuntutan yang perlu kita respons. Pada dasarnya, perdagangan global itu prinsipnya timbal balik—kita memberi, kita juga berharap menerima. Itu inti dari diplomasi perdagangan,” ujar Heru.
Dia pun berharap, dengan adanya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha, industri sawit Indonesia tetap bisa tumbuh berkelanjutan dan bersaing di pasar global.