Bisnis.com, PALEMBANG— Kenaikan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit menjadi 10% diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).
Hal ini karena Sumsel sebagai salah satu daerah penghasil Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia memiliki keterbatasan infrastruktur, khususnya pelabuhan samudra untuk melakukan ekspor secara langsung.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Alex Sugiarto menjelaskan bahwa ekspor CPO dari Sumsel cukup sulit dilacak secara pasti karena sebagian besar pengiriman dilakukan melalui provinsi lain, seperti Lampung, Jambi, atau bahkan Riau.
“Pasti lebih besar dampaknya, karena secara ongkos kirim juga akan terpengaruh,” katanya, Rabu 21/5/2025).
Di sisi lain, menurutnya, banyak juga pabrik sawit di Sumsel yang menjual CPO mereka kepada grup-grup besar yang langsung mengolahnya menjadi produk turunan seperti minyak goreng atau biodiesel.
Oleh karena itu Alex mengaku pihaknya juga terus mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan pelabuhan samudra di Sumsel, agar cost yang dikeluarkan untuk ekspor komoditas di wilayah itu bisa lebih efisien.
Baca Juga
“Sehingga kalau ada pelabuhan samudra, nilai jual TBS, CPO atau bahkan komoditas lain seperti kopi bisa bersaing dengan daerah lain yang memiliki pelabuhan samudra,” ujar Alex.
Namun begitu, dia menjelaskan produksi sawit Sumsel sekitar 7,5% terhadap produksi nasional. Jika mengacu pada produksi nasional yang berada di kisaran 16,6 juta ton, maka untuk produksi sawit Sumsel sebesar 1,1 juta ton.
Adapun ekspor sawit nasional sampai dengan periode April sekitar 57% dari total produksi. Sedangkan estimasi ekspor sawit Sumsel berada di kisaran 600 ribu ton.
Alex menuturkan kenaikan tarif pungutan akan mengerek juga beban ekspor minyak kelapa sawit yang dikhawatirkan berimbas pada harga sawit Indonesia yang tidak kompetitif dengan negara eksportir lainnya.
Dia menyebutkan, ekspor minyak sawit Indonesia sudah dibebani oleh tiga komponen mulai dari Domestic Market Obligation (DMO), PE, serta bea keluar atau BK.
Sebagai gambaran, sebelum kenaikan PE secara total beban ekspor mencapai sekitar U$221 per metrik ton. Namun nilai itu akan bertambah sejalan dengan kenaikan PE tersebut.
Oleh karena itu Gapki sudah mengirimkan surat ke Kemenkeu perihal permintaan penundaan kenaikan tarif PE dengan dua pertimbangan.
Pertama, penerapan reciprocal tarif AS yang sebesar 32% atau lebih tinggi dari Malaysia yang sebesar 24%, dan dikhawatirkan membuat minyak sawit Indonesia tidak kompetitif dari Negeri Jiran.
Kedua, belum adanya gencatan senjata permanen antada India dan Pakistan membuat pembeli dari dua negara ini menunda pembelian CPO dan turunannya.
“Jadi kami (Gapki) melihat kondisi saat ini masih memiliki ketidakpastian dan risiko yang besar dan memiliki potensi berdampak pada daya saing ekspor minyak sawit, keberlanjutan program biofeuel, ketersediaan dana BPDP, serta kelanjutan industri kelapa sawit di Sumsel,” tutupnya.