Bisnis.com, PADANG - Bank Indonesia menargetkan perekonomian Provinsi Sumatra Barat tumbuh sebesar 4,4% hingga 5,2% pada tahun 2025 dengan kondisi inflasi diperkirakan tertinggi di angka 2,5%.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumbar M. Abdul Majid Ikram menyampaikan melihat pada inflasi Sumbar 0,89% pada tahun 2024, bisa dikatakan merupakan inflasi terendah dalam rentang waktu pasca krisis ekonomi tahun 1998. Maka, tahun 2025 ini jangan sampai inflasi Sumbar lebih rendah dari 2024, karena dampaknya ke perekonomian sektor pertanian.
“Pertanian ini sektor terbesar penyumbang pertumbuhan ekonomi Sumbar. Data hingga triwulan III/2024, andil sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Sumbar 21,34%. Kalau inflasi lebih rendah dari 2024 yakni 0,89% itu, kasihan kondisi petaninya, harga jual panen dari petani bisa turun, petani jadi merugi,” katanya dalam pertemuan Overview Perekonomian Sumbar, di Padang, Kamis (23/1/2025).
Dia menjelaskan supaya kondisi ekonomi berimbang antara petani bisa mendapatkan untung yang layak dari hasil panennya, dan kondisi harga pangan di pasar juga tetap terkendali. Artinya, perlu adanya kerja sama, inovasi, dan ide-ide kreatif, serta kebijakan yang jitu dari kepala daerah yang baru nantinya.
Selain itu, hal yang perlu jadi perhatian adalah adanya sejumlah program dari pemerintah pusat yang perlu diikuti bagi pemerintah daerah, mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga target Presiden RI Prabowo Subianto soal Indonesia swasembada pangan.
“Kalau untuk program MBG ini, hal yang perlu diwaspadai di daerah soal ketersediaan pangannya. Pemerintah daerah harus gerak cepat memastikan segala halnya. Pastikan ketersediaan pangannya, jangan sampai berpikir hanya fokus agar program MBG berjalan baik, tapi tidak mengkaji soal ketersediaan pangannya di masing-masing daerah. Risikonya inflasi, ujung-ujungnya perekonomian Sumbar jadi terganggu,” ungkapnya.
Baca Juga
“Program MBG merupakan hal yang sangat baik dijalankan. Jangan terlena terkait persiapan, tapi perlu juga melihat ke sisi lain bahwa penting menghitung dan memeriksa kembali, apakah ketersedian pangan baik-baik saja atau tidak,” sambung Majid.
Dia menegaskan agar tercapainya target perekonomian di tahun 2025 itu, kebijakan kepala daerah yang baru nanti sangatlah dinanti. “Tapi kami berharap, mari saling bekerja sama dan berkoordinasi, karena BI juga menginginkan agar ekonomi Sumbar bisa tumbuh lebih baik, karena pertumbuhan ekonomi di tahun 2024 masih di bawah angka nasional,” kata dia.
Tidak hanya itu, Majid melihat ada kondisi yang kurang menggembirakan yakni soal DIPA yang sedikit turun di tahun 2025 dibandingkan 2024. Alokasi DIPA ini juga bisa menjadi lokomotif perekonomian Sumbar. Tapi, jika secara alokasi turun, artinya perlu kerja keras bagi kepala daerah.
“BI mengharapkan ada ide-ide inovatif dan kreatif dari kepala daerah yang baru untuk mencari PAD sebagai engine APBD bagi ekonomi Sumbar.
Dikatakannya kalau dikaji dari DIPA APBN 2025 yang baru diserahkan dari Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), maka nampak fokus pemerintah pusat adalah bantuan, termasuk makan bergizi dan dana desa.
“Jadi untuk pembiayaan infrastruktur sedikit turun. Hal ini menunjukkan stimulus fiskal terbatas bagi pertumbuhan ekonomi di Sumbar,” sambungnya.
Majid menyebutkan dimulai dari dana desa yang telah dialokasikan di tahun 2025 ini, BI berharap dana desa dapat menjadi program inklusi penyerapan tenaga kerja di desa.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemantauan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumbar di 4 kabupaten/ kota, pada Desember 2024 terjadi inflasi yoy sebesar 0,89% atau terjadi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,68 pada Desember 2023 menjadi 106,90 pada Desember 2024.
Kepala BPS Sumbar Sugeng Arianto menjelaskan melihat secara month to month (mtm) Provinsi Sumbar bulan Desember 2024 mengalami inflasi sebesar 0,35%. Hingga Desember 2024, inflasi year to date (ytd) Provinsi Sumbar sebesar 0,89%.
Komoditas yang dominan memberikan andil/sumbangan inflasi yoy pada Desember 2024 itu yakni emas perhiasan, beras, minyak goreng, hingga kopi bubuk.
“Yang memberi andil inflasi bukan dari makanan, tapi lebih ke barang, seperti emas perhiasan, hingga soal perawatan diri,” ujarnya.