Bisnis.com, PALEMBANG – Perkembangan hukum keuangan publik di Indonesia dimarakkan kembali dengan beberapa kasus hukum yang menerpa direksi anak perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).
Salah satunya yang terjadi di PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) melalui anak usahanya PT Bukit Multi Investama (BMI) dalam proses akuisisi PT Satria Bahana Sarana (SBS), yang diduga merugikan keuangan negara.
Perkembangan ini secara normalistik menimbulkan diskursus kembali mengenai batasan keuangan negara, apakah memang benar keuangan negara tak berujung batas?
Terkait dengan polemik ini, Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji N. Simatupang angkat bicara.
Dalam tulisannya berjudul “Kekhilafan Anggapan Kerugian Anak Perusahaan BUMN sebagai Kerugian Negara”, dia menyebutkan PTBA sebagai anak perusahaan BUMN menurut ketentuan jelas dikategorikan sebagai perseroan terbatas, bukan badan usaha sebagaimana BUMN yang mendirikannya.
“Perbedaan karakter BUMN dan anak perusahaan BUMN ditegaskan ulang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU/2019 yang menyatakan anak perusahaan BUMN tidaklah sama dengan BUMN,” tuturnya.
Baca Juga
Menurut Puji, sebagai badan hukum perdata murni, PTBA tidak terikat dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan negara, kecuali yang diatur secara tegas dalam aturan perusahaan.
Dengan demikian, PTBA didirikan berdasarkan mekanisme hukum keperdataan, bukan hukum publik seperti BUMN. Hal ini menegaskan bahwa PTBA sebagai anak perusahaan BUMN tidak memiliki keterikatan langsung dengan pengelolaan keuangan negara.
Puji menambahkan sebagai korporasi murni, PTBA sebagai anak perusahaan BUMN tetap tunduk dalam prinsip tata kelola perusahaan yang sehat (good corporate governance) yang antara lain memuat transparansi dan akuntabilitas.
“Prinsip-prinsip ini ditegaskan melalui pengendalian internal oleh pengurus perusahaan dan pemeriksaan eksternal oleh kantor akuntan publik yang terpercaya,” tuturnya.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah adanya penyimpangan yang dapat merugikan perseroan, serta untuk mengelola risiko dengan berbagai cara, seperti menggunakan jasa penilai independen dan melibatkan komisaris independen serta komite audit.
Dia melanjutkan menganggap PTBA yang merupakan anak perusahaan BUMN sebagai perusahaan negara dan sebagai badan publik merupakan paradoks yang dipelihara di Indonesia, bahkan mengandung kekhilafan yang mutlak (absoluut error).
Secara hukum, apabila PTBA sebagai anak perusahaan BUMN merupakan perusahaan negara dan pengelola keuangan negara, sudah seharusnya anak usaha BUMN dijalankan dengan model birokrasi negara dengan sistem kepegawaian negara dan dibebankan pada APBN.
“Pada kenyataannya, semua sietem itu tidak pernah diterapkan dalam PTBA sebagai anak perusahaan BUMN,” ujarnya.
Kerugian dalam Tindakan Akuisisi oleh PTBA
Puji menerangkan bahwa dugaan kerugian akibat tindakan akuisisi dalam anak usaha BUMN dapat dikategorikan sebagai kerugian perseroan karena karakter hukumnya sebagai perseroan terbatas.
Namun, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020, kerugian ini dapat menjadi kerugian negara apabila anak perusahaan BUMN menerima dan menggunakan fasilitas negara.
“Nah, dalam kasus akuisisi yang dilakukan oleh PTBA, tidak ada penerimaan atau penggunaan fasilitas negara yang dapat menyebabkan kerugian negara,” tegasnya.
Oleh karena itu, upaya pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksternal, terutama aparat penegak hukum, harus mengikuti mekanisme korporasi yang telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas.
Jadi menurutnya, dugaan kerugian dalam tindakan PTBA sebagai anak perusahaan BUMN bukanlah kerugian negara, mengingat PTBA adalah perseroan terbatas yang tidak terlibat dalam pengelolaan keuangan negara.
Pembedaan yang jelas antara PTBA sebagai anak perusahaan BUMN dengan entitas yang terlibat dalam pengelolaan keuangan negara harus diakui dan dihormati oleh semua pihak agar kepastian hukum dan keadilan hukum terjaga sesuai dengan prinsip dasar hukum.