Bisnis.com, PALEMBANG – Sidang kasus dugaan korupsi akuisisi PT Satria Bahana Sarana (SBS) oleh PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) melalui anak usahanya PT Bukit Multi Investama (BMI) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Kamis malam (7/3/2024).
Dua ahli memberikan pendapatnya dalam lanjutan sidang pembuktian perkara dugaan korupsi itu. Kedua ahli itu yakni Mohamad Sidik Priadana sebagai ahli ekonomi strategi dan Nindyo Pramono ahli hukum bisnis dan korporasi.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Pitriadi, Nindyo yang berpengalaman dalam melakukan kajian perusahaan yang akan diakuisisi, mengatakan rekomendasi yang diberikan setelah melakukan kajian diserahkan kembali kepada perusahaan yang meminta.
“Rekomendasi digunakan atau tidak tergantung keputusan dari perusahaan principal yang menyuruh kami. Jika direksi punya pikiran lain, ya diperbolehkan tidak masalah tak menggunakan rekomendasi konsultan,” ujarnya.
Ahli menjelaskan soal faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bisnis, salah satunya soal ketidakpastian yang akan datang, maka pada praktiknya bila ada peluang bisnis yang akan diambil oleh suatu perusahaan, misalnya badan usaha milik negara (BUMN), maka pastinya ada kajian terlebih dahulu.
“Risiko ketidakpastian di masa yang akan datang adalah salah satu faktor yang mempengaruhi bisnis, maka peluang bisnis yang akan diambil oleh sebuah BUMN pastinya ada kajian terlebih dahulu,” ujar Nindyo.
Baca Juga
Dia mengatakan apabila BUMN tersebut merupakan perusahaan terbuka, maka prinsip transparansi yang paling diutamakan.
Saat ditanya hakim soal bagaimana proses akuisisi, menurut Nindyo, dalam praktiknya proses akuisisi adalah membeli sejumlah saham suatu perusahaan yang dapat mengubah kepemilikan saham perusahaan dan bisa menjadi pengendali perusahaan tersebut.
Saat hakim menanyakan kenapa ada keputusan untuk mengakuisisi perusahaan daripada membuat perusahaan baru, ahli menjawab membuat perusahaan baru lebih sulit karena banyak hal yang harus dilakukan, seperti pengurusan perizinan yang baru. Maka dari itu, keputusan mengakuisisi perusahaan yang lama walau dengan kondisi kurang baik, lebih baik dari pada membuat perusahaan baru.
“Memilih mengakuisisi perusahaan daripada membuat perusahaan baru karena membuat perusahaan baru lebih sulit karena memulai dari awal salah satunya pengurusan izin,” katanya.
Kasus ini telah menjerat lima terdakwa, yakni Direktur Utama PTBA periode 2011-2016 Milawarma (M), mantan Direktur Pengembangan Usaha PTBA Anung Dri Prasetya (ADP), Ketua Tim Akuisisi Penambangan PTBA Saiful Islam (SI), Analis Bisnis Madya PTBA periode 2012-2016 yang merupakan Wakil Ketua Tim Akuisisi Jasa Pertambangan Nurtima Tobing (NT), dan pemilik PT SBS Tjahyono Imawan.
Dalam perkara tersebut, kelima terdakwa dituntut merugikan negara sebesar Rp162 miliar oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Tim kuasa hukum terdakwa mantan petinggi PTBA, Gunadi Wibakso mengatakan pendapat dari ahli M Sidik Priadana dapat diilustrasikan sesuai asumsi persidangan suatu korporasi melalui perencanaan.
“Ahli memberikan jawaban atas pertanyaan kami yang kami asumsikan sesuai fakta persidangan. Jika suatu kegiatan korporasi BUMN diajukan dengan perencanaan kemudian hasilnya juga terlihat membawa manfaat, dari sisi business judgement rule juga sudah benar," ujar Gunadi.
Sementara itu, dia berpendapat ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum, menyatakan apa yang dilakukan oleh PTBA dalam hal ini menggunakan konsultan penilai adalah bentuk kehati-hatian.
“Ahli dari kami menyatakan hal paling penting dari satu aksi korporasi perusahaan BUMN dalam statusnya yang terbuka adalah tidak wajib menggunakan konsultan penilai. Tapi dalam hal ini PTBA tetap melakukan sebagai wujud kehati-hatian. Ini namanya good corporate governance,” katanya.