Bisnis.com, PALEMBANG -- Regulasi yang dibuat Pemprov Sumatra Selatan dinilai telah menghambat persaingan usaha sehat dalam tataniaga karet di provinsi itu.
Hal tersebut berdasarkan kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Adapun regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2019 tentang petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pengolahan dan pemasaran bahan olah karet standard Indonesian rubber, yang diperdagangkan.
Kepala Kantor Wilayah II KPPU, Wahyu Bekti Anggoro, mengatakan regulasi tersebut memberi ruang kepada asosiasi untuk memberikan informasi terkait harga acuan Bahan Olah Karet (Bokar) yang diperdagangkan.
"Selain itu, asosiasi juga mengambil tindakan di luar kewenangannya," katanya dalam keterangan pers, Jumat (16/12/2022).
Dia menjelaskan asosiasi ikut serta dalam memformulasikan komponen pembentuk harga, di mana nantinya akan diinformasikan kepada petani karet sebagai harga acuan untuk penjualan bokar.
Adapun rumusan yang digunakan asosiasi pengusaha karet, yakni harga internasional - biaya produksi pabrik (yang ditetapkan GAPKINDO rata-rata sebesar Rp3.500,-) x persentase K3 (kadar karet kering).
Dengan demikian, kata Wahyu, Pergub Sumsel Nomor 4 tahun 2019 itu telah bersinggungan dengan dua pernyataan dalam Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DP-KPU), terkait pelimpahan kewenangan regulator kepada asosiasi/kumpulan pelaku usaha dan penetapan harga oleh Regulator.
"Dampak akhirnya negosiasi harga karet tidak mencerminkan harga yang wajar adil bagi para pihak, khususnya petani," kata dia.
Oleh karena itu, Wahyu melanjutkan, KPPU menyarankan agar Pemprov Sumsel segera merevisi
Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No. 4 Tahun 2019 khususnya pada pasal 8 ayat 4 terkait ketentuan yang memberikan pelimpahan kewenangan regulator kepada Asosiasi/ kumpulan pelaku usaha.
Selain itu, komisi menilai perlu adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif terkait penetapan harga oleh regulator.
"Juga perlu adanya pengawasan terhadap pelaksanaan pembentukan harga acuan Bokar untuk menghindari terjadinya persaingan usaha tidak sehat," kata Wahyu.
Diketahui, Sumsel merupakan wilayah produksi karet terbesar di Indonesia, dengan jumah produksi sebesar 30 persen dari total produksi karet di Indonesia tahun 2021.
Akan tetapi, kondisi tersebut berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan petani karet di Sumsel, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapat Penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) pada periode September 2022. Penyebabnya adalah penurunan pada Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat khususnya pada komoditas karet yang turun sebesar 8,85 persen.