Bisnis.com, MEDAN — Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU Prof Elisabet Siahaan menyampaikan pandangannya mengenai sistem penghitungan yang ideal untuk mengukur tingkat kemiskinan penduduk di suatu daerah.
Menurut Elisabet, pengukuran yang ideal diukur berdasar persentase naik-turun angka kemiskinan. Bukan jumlah penduduk miskinnya.
"Dalam melihat kemiskinan, yang kita perhatikan adalah persentasenya yang dibandingkan dengan total jumlah penduduk di daerah tersebut, itulah yang menjadi acuan benar dan objektif bukan jumlah penduduk miskin," kata Elisabet melalui keterangan tertulis dikutip Minggu (3/7/2022).
Menurut Elisabet, pengukuran tingkat kemiskinan berdasar jumlah penduduk miskin tidak layak dijadikan acuan. Sebab, setiap daerah memiliki jumlah penduduk yang berbeda-beda.
"Tidak benar bila membandingkan dengan menggunakan indikator pembandingnya dari sisi jumlah penduduk, sudah pasti provinsi dengan jumlah penduduk yang banyak, maka jumlah penduduk miskinnya juga akan banyak," katanya.
Elisabet mengatakan, kemiskinan tetap menjadi topik evaluasi terhadap kinerja instansi pemerintahan. Isu ini juga dijadikan tolok ukur kemampuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya.
Baca Juga
Selama ini, katanya, terdapat beberapa indikator daerah miskin. Antara lain angka harapan hidup dan tingkat pendidikan yang rendah, modernitas sarana dan prasarana aktivitas masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat.
Kemudian jumlah pendapatan masyarakat yang masih rendah dan tingkat pertumbuhan penduduk serta jumlah pengangguran yang tinggi. Sejak dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 menjadi faktor utama penyebab peningkatan tingkat kemiskinan. Termasuk di Sumatra Utara.
Berdasar data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin Sumatra Utara mengalami tren penurunan kurun lima tahun terakhir. Tepatnya sejak September 2015 sampai September 2021. Persentase kemiskinan yang awalnya 10,79 persen menjadi 8,49 persen.
Sejak pandemi melanda, persentase kemiskinan Sumatra Utara sempat mengalami peningkatan pada September 2020. Peningkatannya sebesar 0,51 persen. Yakni dari 8,63 persen pada September 2019 menjadi 9,14 persen pada September 2020. Penurunan mulai terlihat setelah Maret 2020. Persentase penduduk miskin yang tercatat 9,01 persen menjadi 8,49 persen pada September 2021. Sehingga terjadi penurunan sebesar 0,52 poin.
Dengan demikian, angka kemiskinan di Sumatra Utara setara dengan 1,27 juta jiwa pada September 2021, atau berkurang sekitar 70,8 ribu jiwa dalam satu semester terakhir.
Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Sumatra Utara Azantaro menjelaskan BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach untuk mengukur tingkat kemiskinan di Sumatra Utara.
"Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan," ujar Azantaro.
Azantaro mengatakan, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat sebesar 8,68 persen pada September 2021 lalu. Sedangkan di daerah pedesaan sebesar 8,26 persen.
Untuk daerah perkotaan, persentase penduduk miskin tercatat mengalami penurunan sebesar 0,47 poin jika dibandingkan Maret 2021. Sedangkan daerah pedesaan berkurang sebesar 0,58 poin.
Garis Kemiskinan pada September 2021 tercatat sebesar Rp537.310,00 per kapita per bulan. Jumlah ini terdiri atas komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp404.860,00 atau 75,35 persen dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp132.451,00 atau 24,65 persen.
Pada periode Maret 2021 hingga September 2021, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menunjukkan penurunan. Sebaliknya, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) sedikit meningkat. P1 turun dari 1,522 pada Maret 2021 menjadi 1,450 pada September 2021. Sedangkan P2 naik dari 0,376 menjadi 0,382.
Menurut Azantaro, hal itu mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung meningkat dan semakin mendekati garis kemiskinan. Penurunan kedalaman kemiskinan juga terjadi pada Maret 2021 lalu.
"Keadaan sebaliknya pada tingkat ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin sedikit meningkat, dimana pada periode Maret 2021 sempat menurun," katanya.
Berdasar catatan BPS, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kemiskinan di Sumatra Utara pada periode Maret-September 2021.
Faktor pertama adalah pandemi Covid-19 yang berkelanjutan. Hal ini sangat berdampak pada perubahan perilaku serta aktivitas ekonomi penduduk, sehingga mempengaruhi angka kemiskinan. "Tetapi pada September 2021 mulai menunjukkan perbaikan," kata Azantaro.
Faktor kedua adalah pertumbuhan ekonomi Sumatra Utara. Perkonomian Sumatra Utara triwulan III/2020 terhadap triwulan IV/2021 mengalami pertumbuhan sebesar 3,67 persen (yoy). Angka ini jauh meningkat dibanding capaian Triwulan III 2020 yang pertumbuhannya terkontraksi sebesar 2,6 persen (yoy).
Faktor ketiga adalah inflasi. Selama periode Maret-September 2021, angka inflasi umum tercatat sebesar 0,82 persen. Sedangkan faktor yang terakhir adalah catatan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada triwulan III/2021 yang tumbuh sebesar 3,26 persen (yoy).