Bisnis.com, PALEMBANG – PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) , operator seluler terbesar di Indonesia, masih keberatan dengan rencana pemangkasan tarif interkoneksi, karena tidak mencerminkan perimbangan gelar jaringan di daerah.
Badar, GM Penjualan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Regional Sumatra Bagian Selatan, mengharapkan penetapan tarif interkoneksi lebih mengakomodasi kondisi bisnis di lapangan.
Menurut Badar, perusahaan yang telah berinvestasi besar hingga ke daerah tidak sewajarnya menerima penetapan tarif interkoneksi yang lebih rendah.
Apalagi, lanjut Badar, tarif tersebut berkorelasi dengan pendapatan dan kontribusi operator bagi negara. Semakin besar penerimaan, kian besar pula pajak yang disetorkan perusahaan kepada negara.
“Masa diberlakukan sama orang yang bangun besar-besaran, bayar pajak paling besar, dengan pemain yang bangun dan bayar pajak kecil?” katanya usai acara pembukaan Telkomsel Ramadhan Fair 2017 di Palembang, Selasa (13/6/2017) malam.
Badar pun mencontohkan komitmen perusahaannya berinvestasi di Sumatra Bagian Selatan (Sumbagsel)—meliputi Provinsi Sumatra Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Bangka-Belitung. Selama belasan tahun, Telkomsel mengklaim telah membangun 10.000 stasiun pemancar dan penerima (BTS) di kawasan tersebut sehingga kini dapat menghimpun 60% pangsa pengguna seluler.
“Kami besar karena kami membangun. Pesaing terdekat saja selisihnya jauh,” ujarnya.
Di sisi lain, Badar menilai ketimpangan pergelaran infrastruktur justru berbanding terbalik dengan penguasaan lisensi frekuensi yang berlaku secara nasional. Menurut Badar, pesaing paling dekat memegang lebar spektrum hampir sama dengan Telkomsel.
“Dari semua operator yang punya spektrum, Telkomsel-lah yang pemakaiannya paling maksimal. Apakah kompetitor yang punya spektrum besar sudah memanfaatkannya?”
Penurunan Tarif
Kementerian Komunikasi dan Informatika mewacanakan penurunan tarif interkoneksi layanan suara pada kuartal II/2015 mengingat struktur tarif belum berubah selama satu dekade.
Melalui pemangkasan tarif, pemerintah berharap biaya panggilan antaroperator yang dibayarkan pengguna semakin rendah.
Namun, penghitungan tarif dengan pendekatan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BULRIC) itu menimbulkan pro dan kontra antarsesama operator. Bahkan, Kemkominfo menarik kembali penetapan tarif interkoneksi Rp204 per menit—yang sudah diturunkan dari Rp250 per menit.
Lantas, instansi yang dipimpin Rudiantara itu melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk menghitung ulang struktur biaya dengan skema BULRIC. Salah satu komponen biaya itu adalah rencana investasi operator dalam beberapa tahun ke depan. Harga jaringan di tiap regional ditetapkan berbeda-beda.
Manajer Jaminan Kualitas Layanan Telkomsel Sumbagsel Herry Setiawan mengatakan penghitungan itu menjadi domain perusahaan di kantor pusat. Pasalnya, sampai saat ini Telkomsel Sumbagsel belum mendapat perintah untuk merekapitulasi data jaringan di lima provinsi.
Di sisi lain, Telkomsel kembali menggelar Ramadhan Fair sebagai bagian dari program Telkomsel Siaga 2017. Program itu menghadirkan pameran penjualan ponsel pintar 4G LTE yang dibundel dengan kartu perdana Telkomsel. Di Palembang, even itu digelar pada 12-18 Juni di Palembang Icon Mall.