Bisnis.com, MEDAN – Bupati Labuhanbatu Utara (Labura) Hendri Yanto Sitorus menyebut ketidaktahuan menjadi penyebab banyaknya kebun sawit milik petani di Labura yang kini tercatat masuk ke dalam kawasan hutan.
Hendri mengatakan sebagian besar petani sawit bahkan telah mengelola lahan tersebut selama puluhan tahun.
“Mereka telah puluhan tahun menduduki lahan itu. Mungkin saat itu belum ditentukan [batas-batas] hutannya. Mereka taunya lahan itu punya mereka. Tapi sekarang mereka kena [kasus hukum],” kata Hendri di Medan, Rabu (25/6/2025).
Hendri menyoroti soal penentuan tata ruang di Indonesia yang kemudian membuat sebagian besar lahan sawit terdeteksi berada di dalam kawasan hutan.
Dia pun meminta meminta pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih lahan sawit petani dengan kawasan hutan untuk mendukung keberlanjutan salah satu komoditas penyumbang devisa negara terbesar ini.
“Kalau lahan petani yang berada dalam kawasan hutan ini bisa jadi milik masyarakat, itu lebih baik. Kalau tidak bisa, mohon segera dituntaskan permasalahan ini,” ujarnya.
Baca Juga
Adapun Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) menjadi daerah percontohan untuk penelitian kelapa sawit berkelanjutan sejak tahun 2022 yang difasilitasi oleh ICRAF, International Council for Research in Agroforestry/ World Agroforestry melalui proyek Sustainable Farming in Tropical Asian Landscapes (SFITAL).
Proyek yang berlangsung selama tiga tahun tersebut merupakan perwujudan komitmen Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labura untuk menindaklanjuti instruksi presiden tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Hasilnya akan dijadikan pertimbangan dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD KSB) oleh Pemkab Labura.
Dalam Seminar Nasional ‘Membangun Sinergi Menuju Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan dan Berdaya Saing: Pembelajaran dari Kabupaten Labuhanbatu Utara’ di Medan yang digelar pada Rabu (25/6/2025), terungkap sejumlah isu strategis pengembangan kelapa sawit berkelanjutan di Labura. Antara lain infrastruktur perkebunan yang belum memadai, alih fungsi lahan kelapa sawit, umur kelapa sawit yang menuju tua dan perlu persiapan peremajaan, penerapan good agricultural practices yang belum sesuai standar, hingga permasalahan tumpang tindih lahan.
Direktur ICRAF Andree Ekadinata mengatakan, dari hasil analisis luas tutupan lahan sawit berdasarkan penunjukan pola ruang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Laburan pada tahun 2022, sebanyak 23,29% perkebunan sawit berada dalam kawasan hutan, atau sekitar 50 ribu hektare dari total luasan kelapa sawit tahun tersebut yang mencapai 214,7 ribu hektare.
Andree menyebut perkebunan sawit yang teridentifikasi pada kawasan hutan ini perlu ditangani secara khusus, terutama yang berada di kawasan hutan lindung.
Ditambahkan Andree, petani sawit rakyat dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari produktivitas kebun yang menurun, akses pasar yang terbatas, dan praktik budidaya yang belum berkelanjutan.
“SFITAL adalah salah satu upaya untuk memperkuat kapasitas petani sawit rakyat untuk keberlanjutan sawit rakyat khususnya di Labura,” ujarnya. (240)