Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Dorong Revisi PP 5/2021 dan PP 41/2021, Batam Kehilangan Daya Saing Investasi

Pengusaha Batam dorong revisi PP 5/2021 & PP 41/2021. Sistem OSS dinilai hambat investasi, kewenangan perizinan diminta dialihkan ke BP Batam.
Kawasan Industri Batamindo merupakan kawasan industri pertama dan vital di Batam. Pengusaha Batam dorong revisi PP 5/2021 & PP 41/2021. Sistem OSS dinilai hambat investasi, kewenangan perizinan diminta dialihkan ke BP Batam. /Istimewa
Kawasan Industri Batamindo merupakan kawasan industri pertama dan vital di Batam. Pengusaha Batam dorong revisi PP 5/2021 & PP 41/2021. Sistem OSS dinilai hambat investasi, kewenangan perizinan diminta dialihkan ke BP Batam. /Istimewa

Bisnis.com, BATAM – Kalangan pengusaha kawasan industri di Batam mendorong pemerintah pusat segera melakukan revisi setidaknya dua peraturan yang dianggap menghambat arus investasi dan perizinan di Batam.

Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam-Karimun Adhy Prasetyo Wibowo mengatakan revisi dua peraturan pemerintah itu diyakini dapat memperkuat daya saing kawasan industri, khususnya di Batam.

"Keduanya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP Nomor 41/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB)," katanya di Batam, Rabu (28/5/2027).

Adhy menjelaskan usulan tersebut mencuat sebagai respons atas hambatan struktural dalam sistem perizinan dan tata kelola KPBPB, yang dinilai belum efektif dalam mendorong arus investasi dan ekspansi industri.

"Revisi kedua aturan ini sangat krusial untuk memperkuat daya saing kawasan industri dan mempercepat realisasi investasi, khususnya di Batam," jelasnya.

Menurut Adhy, implementasi kedua PP tersebut masih menghadirkan kendala signifikan di lapangan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah sistem perizinan terpusat melalui Online Single Submission (OSS) berbasis risiko yang belum mengakomodasi karakteristik khusus KPBPB seperti Batam.

Sebagai kawasan KPBPB, tambah Adhy, Batam memerlukan perlakuan regulasi yang berbeda. Namun hingga saat ini, BP Batam sebagai pengelola kawasan belum memiliki kewenangan penuh dalam menerbitkan sertifikat standar maupun melakukan verifikasi teknis perizinan lingkungan.

Salah satu dampak yang muncul di lapangan, sejumlah kawasan industri di Batam menghadapi hambatan serius dalam pengajuan adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan penerbitan izin operasional. 

Ketergantungan pada pemerintah pusat memperlambat proses sehingga menunda ekspansi usaha dan pembangunan infrastruktur industri.

"Kondisi ini menciptakan ketidakpastian bagi investor dan menurunkan daya saing Batam sebagai destinasi investasi regional," ungkapnya.

HKI, masih kata Adhy, mendorong agar kewenangan perizinan, seperti amdal untuk penanaman modal asing (PMA), serta kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) darat dan laut, wewenangnya dapat dialihkan dari pusat ke BP Batam.

Penarikan kewenangan perizinan strategis ke kementerian dan lembaga di tingkat pusat justru mengikis keistimewaan Batam sebagai KPBPB. Ketimpangan ini berpotensi menjadi hambatan serius bagi daya saing Batam dalam menghadapi kompetisi regional di kawasan Asia Tenggara.

"Tanpa reformasi regulasi, Batam akan kehilangan momentum dalam menghadapi persaingan regional. Vietnam, Malaysia, dan Thailand telah melangkah lebih progresif dengan sistem perizinan terdesentralisasi yang mendukung efisiensi dan kepastian hukum. Indonesia tidak boleh tertinggal," tegasnya.

Selain penyederhanaan perizinan, Adhy juga melihat pemerintah perlu menyelaraskan regulasi dengan karakteristik kawasan, memperjelas struktur kewenangan, dan memastikan sistem digital OSS benar-benar inklusif serta adaptif terhadap berbagai jenis kawasan industri.

"Potensi Batam sebagai pusat industri dan logistik nasional tidak akan optimal tanpa dukungan regulasi yang responsif. Dengan posisi geografis strategis, infrastruktur yang kompetitif, dan dukungan SDM industri, Batam memiliki kapasitas besar untuk menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional," ungkapnya.

Revisi PP 5/2021 dan PP 41/2021 menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing Batam ke tingkat yang lebih tinggi. Itu karena investor yang beroperasi di Batam pada umumnya merupakan pelaku usaha yang patuh terhadap regulasi.

"Mereka siap memenuhi ketentuan yang berlaku, sepanjang proses perizinan—terutama perizinan dasar yang menjadi syarat operasional—dapat dilakukan secara efisien dan dipermudah," kata Adhy.

Kepala BP Batam Amsakar Achmad pernah mengatakan mengatakan pihaknya tengah menggesa pelimpahan sejumlah perizinan pusat ke daerah.

"Kami ada ikhtiar pelayanan [perizinan] tingkat negara bisa dialihkan ke Batam, seperti perizinan amdal untuk PMA," katanya.

Perizinan lain yang mendapat atensi dari Amsakar yakni persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) yang selama ini dipegang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 

Ia optimistis hal tersebut bisa dicapai karena kemunculan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21/2025 tentang Penyediaan Lahan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. 

Menurut Amsakar, pemerintah pusat sudah menunjukkan komitmen mendukung pertumbuhan investasi di Batam lewat regulasi itu.

"Saya sampaikan, ada Perpres 21/ 2025. Itu kebijakan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pusat terhadap pelayanan di daerah. Pelepasan hutan di Batam tidak perlu persetujuan provinsi," ungkapnya.

Dengan hadirnya peraturan tersebut, diharapkan menjadi semangat baru bagi Batam. "Hal ini penting bukan hanya dalam rangka penataan kawasan hutan, tapi juga memberikan kontribusi pada peningkatan investasi di Batam," jelas Amsakar.

Sebelum regulasi baru ini diterbitkan, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan di Batam ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hanya bisa dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga, pejabat pimpinan tinggi madya kementerian, gubernur, bupati/wali kota, badan otorita, pimpinan badan hukum atau perseorangan, serta kelompok masyarakat.

Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021. Dalam Perpres terbaru, tambah Amsakar, Kepala BP Batam menjadi pihak yang dapat mengajukan permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan di KPBPB Batam ke Kementerian LHK, selain menteri, gubernur, serta pejabat pimpinan tinggi madya kementerian.

"Sedangkan pihak lainnya seperti yang terdapat dalam regulasi sebelumnya tidak bisa lagi. Mereka harus mengajukan lewat BP Batam," jelasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Batam, distribusi pendapatan domestik regional bruto (PDRB) menurut lapangan usaha di Batam pada 2024, industri pengolahan memiliki kontribusi sebesar 56,83%, di mana ada peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 56,38%.

Sedangkan dari penerimaan pajak, industri pengolahan menjadi yang paling besar kontribusinya. Berdasarkan data Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Kepulauan Riau (Kepri), realisasinya sebesar Rp 2,59 triliun. 

Kontribusi industri pengolahan terhadap penerimaan pajak di Kepri sebesar 59,2% dari total Rp 4,38 triliun, sedangkan pertumbuhannya sebesar 19,33% secara tahunan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper