Bisnis.com, PEKANBARU – Kelapa sawit terus menjadi komoditas unggulan di Indonesia berkat produktivitasnya yang tinggi, karena itu semua pihak diharapkan dapat mendukung keberlanjutan sawit ke depan.
Deputy Director for Market Transformation Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Mahatma Windrawan Inantha mengungkapkan untuk menghasilkan produk dengan output setara, sawit hanya memerlukan seperempat lahan dibandingkan kedelai.
"Dengan produktivitasnya yang luar biasa, kelapa sawit kini mencakup 16,8 juta hektare lahan di Indonesia, jauh melampaui estimasi hitungan awal yang diperkirakan Indonesia hanya punya perkebunan sawit sebesar 9 juta hektare. Bahkan ada potensi angka ini mencapai 21 juta hektare. Padahal aktivitas kita sehari-hari, dari bangun tidur hingga tidur lagi, hampir semuanya terkait dengan sawit," ungkapnya dalam event Bisnis.com dan Apical: GreenFest with Sustainable Palm Oil, Senin (25/11/2024).
Mahatma menyoroti Indonesia merupakan konsumen terbesar sawit dunia, dengan permintaan mencapai 20 juta ton per tahun.
Kebijakan pemerintah seperti B20, B30, dan B35 telah menyerap sebagian besar hasil sawit, khususnya untuk bahan bakar nabati (biofuel). Pada 2024, sebanyak 12,6 juta ton digunakan untuk biosolar, sementara 7,2 juta ton dialokasikan untuk kebutuhan pangan.
Namun, dia memperingatkan potensi gejolak jika kebijakan biofuel terlalu agresif, seperti penerapan B50.
Baca Juga
"Untuk B50, diperlukan tambahan 5 juta ton CPO. Ini akan menyerap CPO lokal, menekan pasokan global, dan mendorong harga dunia naik. Kenaikan harga ini juga bisa memicu krisis minyak goreng seperti yang terjadi pada 2022, ketika volume untuk pangan berkurang karena dialihkan ke biofuel," jelasnya.
Mahatma menyarankan agar kebijakan biofuel tetap bertahan di B35 untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga, seraya mempersiapkan peningkatan produksi sawit domestik.
RSPO mencatat sertifikasi minyak sawit berkelanjutan baru mencakup 19,5% dari total luas perkebunan sawit dunia, dengan Indonesia berkontribusi 10 juta ton CPO bersertifikasi.
Menurutnya hal ini sebagai pencapaian yang patut diapresiasi, meski sertifikasi bukan satu-satunya cara untuk menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan.
"Indonesia memiliki ISPO sebagai batu loncatan sebelum mencapai RSPO. Walaupun banyak yang mengatakan ISPO tidak sekuat RSPO, intinya adalah kriteria dan standar keberlanjutan yang dipatuhi," ujarnya.
Lebih lanjut, survei RSPO menunjukkan bahwa 27% konsumen Indonesia bersedia membeli produk sawit berkelanjutan. Namun, produk bersertifikasi RSPO di pasar domestik masih terbatas, seperti minyak goreng kemasan tertentu dan produk impor seperti Pocky dari Thailand.
Mahatma mengajak generasi muda untuk melihat potensi sawit sebagai energi dan pangan masa depan, terutama di pasar domestik yang terus berkembang. "Dengan menjaga keberlanjutan, Indonesia bisa menjadi superpower dalam industri sawit di masa depan," pungkasnya.