Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Panen Cabai Merah di Sumbar Lagi Bagus, Pasokan ke Pasar Bakal Terkendali

Kondisi produksi cabai merah yang ada wilayah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, terbilang memiliki kualitas yang baik.
Seorang petani memanen cabai merah di kebun yang berada di Desa Sungai Nanam, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, Jumat (23/8/2024). Bisnis/Muhammad Noli Hendra
Seorang petani memanen cabai merah di kebun yang berada di Desa Sungai Nanam, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, Jumat (23/8/2024). Bisnis/Muhammad Noli Hendra

Bisnis.com, AROSUKA - Ketersediaan cabai merah di wilayah Sumatra Barat dipastikan aman dan terkendali seiring para petani menjalani masa panen dengan kualitas yang baik.

Ketua Kelompok Tani Pawuah Sapekek, Indra Wardi mengatakan kondisi produksi cabai merah yang ada wilayah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, terbilang memiliki kualitas yang baik, sehingga mampu untuk memberikan harga yang cukup menguntungkan bagi petani.

"Saat ini panen cabai merah lagi bagus-bagusnya, untuk per hektare per pekannya itu, kami bisa panen 1 ton cabai merah. Sementara di wilayah Desa Sungai Nanam atau Alahan Panjang secara umum memiliki hamparan pertanian cabai merah. Artinya, produksi bakal mampu menopang kebutuhan Sumbar dan bahkan bisa dijual ke provinsi tetangga," katanya, Jumat (23/8/2024).

Dia menyebutkan saat ini harga cabai merah di tingkat petani Rp35.000 per kilogram, cabai yang ditanam merupakan varietas cabai merah lokal atau dikenal dengan cabai merah darek.

Menurutnya dengan kondisi kualitas cabai yang lagi bagus, serta didukung oleh cuaca, yang terkadang hujan dan terkadang panas, para petani mampu memanen cabai 10 hingga 30 kali untuk cabai merah satu kali tanamnya.

"Jadi usia cabai merah ini bisa panen dari masa tanamnya itu 6 bulan. Bila sudah mulai panen perdananya, maka panen berikutnya sudah bisa dilakukan per pekannya dengan jumlah panen bisa mencapai 10 hingga 30 kali," jelasnya.

Indra menyampaikan semakin seringnya panen mendapatkan masa panen itu, menunjukan kualitas cabai merah lagi bagus. Hal ini tidak terlepas dari dukungan cuaca, serta pemupukan yang dilakukan secara optimal.

Berbeda kondisinya bila saat hendak memulai masa panen, tapi malah menghadapi cuaca hujan, maka kualitas cabai nya akan turun. Begitupun bila hendak menjalani masa panen, namun cuaca lagi panas, juga bisa menyebabkan kualitas cabai jadi turun yakni berupa diserang hama jamur.

"Nah kebetulan saat ini, selain masa tanam dan pemupukan tanaman cabai optimal, juga dibarengi kondisi cuaca yang terbilang stabil. Makanya saat ini panen cabai merah di desa ini lagi bagus-bagusnya," ungkap Indra yang juga petani binaan dari Bank Indonesia itu.

Dia menjelaskan selama ini, hasil panen cabai merah yang dipanen di wilayah tersebut, lebih memprioritaskan memasok untuk kebutuhan pasar di sejumlah wilayah di Sumbar, seperti di sekitaran Kabupaten Solok hingga ke Kota Padang.

Setelah itu hasil panen cabai merah di Solok juga turut dipasok ke provinsi tetangga yakni ke Aceh, Sumatra Utara, Riau, dan termasuk ke Jambi.

"Kalau keluar provinsi itu, harganya lebih tinggi ketimbang di jual di dalam daerah di Sumbar. Tapi kami tentu melakukan langkah agar di isi dulu kebutuhan di dalam daerah," tegasnya.

Namun di situ sisi, Indra mengatakan cukup sering terjadi kenaikan harga cabai merah di pasar. Padahal di tingkat petani harganya terbilang jauh lebih murah, seperti halnya saat ini, cabai merah di Solok yang dibeli dari petani Rp35.000 per kilogram.

"Kalau menghitung soal untungnya, minimal harga cabai merah di tingkat petani itu Rp25.000 hingga Rp30.000 per kilogramnya. Harga segitu, masih ada untung sedikit yang bisa dinikmati petani," ujarnya.

Dia melihat persoalan kenaikan harga cabai merah di pasar itu, berkemungkinan besar disebabkan oleh rantai distribusi. Seperti adanya agen yang membeli ke petani, kemudian agen melemparkan ke pedagang, sehingga di saat sampai di pasar harganya bisa naik cukup tinggi.

Indra mengaku sangat terkejut melihat kondisi harga cabai di pasar yang cukup tinggi bila dibandingkan harga cabai yang bisa dibeli dari tingkat petani.

"Padahal kami harus berbulan-bulan merawatnya, harus mengeluarkan biaya dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat cabai ini sehingga bisa mendapatkan panen yang bagus. Tapi untungnya tipis sekali. Sementara agen dan pedagang di pasar, hitungan jam saja sudah bisa meraup untung yang besar untuk cabai merah itu," sebutnya.

Untuk itu, Indra melihat kondisi yang terjadi di tingkat petani dari segi harga dan kualitas sudah terjaga dan terkendali, sementara penyebab terjadi kenaikan harga cabai merah di pasar adalah rantai distribusinya.

Dia berharap ada upaya pemerintah untuk memutus rantai distribusi itu, dengan cara bisa menjalankan fungsi Toko Tani Indonesia sebagai penampung hasil panen dari petani.

"Pemerintah melalui toko tani nya itu, bisa beli hasil panen petani ini. Setelah itu toko tani lah yang bisa mengontrol kondisi pasokan di pasar. Saya perkirakan, jika itu jalan, soal harga cabai merah di pasar bisa stabil," jelasnya.

Indra menyebutkan pandanganya soal memutus rantai distribusi itu, telah dilakukan ke pangsa pasar yang ada di Riau. Dimana petani telah menjalin kesepakatan dengan penampung atau pedagang cabai merah yang ada di wilayah Riau.

Dengan adanya cara itu, harga cabai merah yang dijual di Riau hanya mengalami kenaikan sekitar 20% dari harga ditingkat petaninya. Namun jika pun ada ditemukan harga lebih tinggi di Riau itu, bukanlah permainan distribusi, melainkan memang lagi naik harga cabai ditingkat petaninya.

"Kalau kondisi yang terjadi di pasar-pasar di Sumbar, meskipun itu pasokannya dari cabai lokal bukan dari Jawa, harga antara dari tingkat petani hingga sampai ke pasar bisa naik sekitar 40%," ungkapnya.

Tantangan Petani Cabai Merah di Solok

Indra menjelaskan menjadi petani cabai merah seakan seperti bermain judi. Sejak dari awal harus rela menghabiskan dana yang besar, mulai dari membeli bibit, merawatnya, hingga memasuki masa panennya. Semua itu dilakukan butuh dana yang besar, terutama bagi lahan pertanian cabai yang menggunakan jasa buruh tani.

"Ada petani yang rela jual mobil pribadinya untuk modal awal tanam cabai merah. Kalau untung panen nya, bisa beli lagi mobilnya. Kalau harga anjlok, tidak bisa beli mobil lagi," sebutnya.

Kemudian tantangan lainnya yakni soal pupuk, dan hampir sebagian besar petani cabai merah di Alahan Panjang itu tidak menggunakan pupuk bersubsidi. Hal ini dikarenakan kualitas pupuk bersubsidi itu dianggap tidak mampu mendongkrak kualitas cabainya.

"Kami malah beli pupuk tidak bersubsidi itu, jenis nya NPK. Ternyata berpengaruh kepada hasil panen, cabai nya tumbuh subur dan berbuah lebat," kata dia.

Padahal kalau bicara kebutuhan pupuk, untuk satu hektare lahan itu butuh 1 tok pupuk NPK. Jumlah penebaran pupuk tidak cukup sekali, tapi bisa dari 5 hingga 6 kali pemupukan.

"Jadi untuk sekali tanam itu, sampai nanti sudah habis dipanen, per hektar nya itu butuh ditebar pupuknya 5 hingga 6 kali. Artinya 5 hingga 6 ton pupuk yang dihabiskan untuk luas lahan satu hektare," jelasnya.

Menurutnya kondisi yang seperti itulah yang menjadi dasar bagi petani dalam penetapan nilai standar harga cabai merah ditingkat petaninya.

"Kini harga Rp35.000 per kilogramnya, alhamdulillah ada untungnya. Coba kalau harganya di bawah Rp20.000 per kilogram, rugi kami petani ini. Padahal sudah modal banyak," tutup Indra.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper