Bisnis.com, MEDAN - Kelompok Tani (Poktan) Karet Mbuah Page Desa Kuta Jurung Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hilir Deli Serdang menanti langkah pemerintah dalam menentukan solusi untuk mendongkrak harga jual karet.
Pasalnya, penurunan harga karet alam yang telah berlangsung menahun berdampak pada masifnya konversi lahan karet menjadi komoditas lain terutama sawit lantaran harga jual yang lebih menjanjikan.
Ketua Poktan Karet Mbuah Page Sungkunen Tarigan mengatakan, semula, hampir seluruh warga Desa Kuta Jurung yang berjumlah sekitar 200 kepala keluarga (KK) berprofesi sebagai petani karet. Harga karet yang tidak kunjung membaik membuat petani patah arang. Alih tanaman pun berkelanjutan.
"Sejak zaman [presiden] SBY hingga Jokowi harga karet tidak pernah mahal, sementara kebutuhan hidup makin tinggi. Itu yang menyebabkan petani-petani karet di sini lebih memilih mengganti tanamannya jadi sawit karena lebih untung," kata Sungkunen kepada Bisnis, Selasa (23/4/2024).
Dikatakan Sungkunen, pihaknya telah beberapa kali menyampaikan pandangan kepada instansi terkait untuk keberlanjutan perkebunan karet Sumut. Ia menyebut lesunya harga jual karet adalah biang utama yang bisa menghentikan sektor ini. Langkah solutif dari pemerintah pun sangat diharapkan para petani.
Ia juga menyinggung rencana yang diungkapkan pemerintah beberapa waktu lalu untuk menjadikan karet sebagai campuran aspal. Sayangnya, kata dia, hingga saat ini belum tampak ujung dari rencana tersebut.
Baca Juga
"Memang sempat ada rencana yang disampaikan untuk bikin karet jadi campuran aspal. Sampai sekarang belum ada kami dengar kelanjutannya. Kami harap pemerintah serius menangani permasalahan ini. Saat harga CPO dunia anjlok, ada solusi dari pemerintah untuk menjadikan CPO sebagai campuran biosolar. Lantas, apa upaya pemerintah untuk karet?" lanjutnya.
Sungkunen menyebut jumlah petani karet di wilayahnya menurun drastis dalam kurun waktu kurang lebih 2 dekade terakhir. Dari 200-an, hanya 20 kepala keluarga kini yang bertahan mengusahakan lahan karet mereka.
Itu pun, lanjutnya, lantaran kawasan lahan mereka tidak bisa dilalui kendaraan roda empat.
"Semakin bagus akses jalan di sini, semakin bisa dilalui kendaraan roda empat, maka semakin banyak pula petani karet yang beralih ke tanaman sawit," pungkasnya.
Senada, Sekretaris Eksekutif Gapkindo Sumut Edy Irwansyah menyebut pemerintah perlu memberi perhatian nyata untuk keberlanjutan perkebunan dan industri karet Sumut.
Sejak 2016, lanjutnya, sudah 10 pabrik karet yang tutup. Industri ini disebutnya bisa berguguran satu per satu bila tidak ada jalan keluar.
"Harga jadi permasalahan utama karena dikendalikan pasar global. Agar tidak bergantung pada pasar global, maka serapan karet dalam negeri harus diperbesar melalui hilirisasi dan sebagainya," kata Edy. (K68)