Bisnis.com, BATAM - Kelompok nelayan di Kepulauan Riau (Kepri) terus melakukan protes dan unjuk rasa terkait terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, dan PP Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri Said Sudrajat saat bertemu Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta, Kamis (24/8/2023).
"Para nelayan keberatan dengan PP Nomor 11/2023 yang mengklasifikasikan kapal 1-5 Gross Tonnage (GT) sebagai kapal kecil, sedangkan 6-10 GT sebagai kapal sedang, " kata Said dalam keterangan resmi, Jumat (25/8/2023).
Padahal berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Kecil; Pembudidayaan Ikan; dan Petambak Garam, maka nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal dengan ukuran hingga 10 GT.
"Para kelompok nelayan memohon agar dikembalikan nelayan kecil tetap 1-10 GT," ucapnya.
Selain itu, para nelayan juga merasa terbebani dengan adanya kewajiban pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) dengan harga yang lumayan besar, dan ditambah juga dengan adanya pembiayaan air time, dan penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 5 persen.
Baca Juga
Sementara itu Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan bahwa PP No 11 Tahun 2023 bertujuan untuk mengatur zona penangkapan ikan terukur yang berada di atas 12 mil dari pantai.
Nelayan yang beroperasi di zona tersebut harus mendapatkan izin dari KKP. Selain itu, PP tersebut juga mengatur mengenai kuota penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur, yang dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.
"Esensi dari PP itu untuk kepentingan lokal. Wilayah yang punya zona harus menjadi tuan rumah di tempatnya. Yang kami lakukan adalah nelayan lokal dan nelayan zona tidak dipungut biaya sama sekali. Data nelayan lokal sudah ada, tugas kita berantas para pengusaha yang masih nakal. Setelah tata kelola ini dilakukan dengan baik, saya rasa nelayan daerah bisa berkembang dan populasi perikanan kita terkontrol dengan baik sesuai laporan yang diberikan," paparnya.
Ia berharap dengan PP tersebut, kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan nelayan, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil perikanan, kepastian berusaha, kontribusi bagi dunia usaha, serta bagi negara.
Sementara itu, terkait dengan PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, Sakti mengatakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan sedimentasi sudah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.
"Jadi sebelum pengusaha melakukan sedimentasi harus bayar dulu PNBP-nya di awal, kemudian diberikan izin. Untuk lokal 30 persen dan untuk ekspor 35 persen" tutupnya. (K65)