Bisnis.com, SIAK - Program One Village One Commodity (OVOC) atau satu desa satu komoditas unggulan jadi visi Pemerintah Provinsi Riau dalam memberdayakan ekonomi masyarakat berbasis komoditas unggulan yang bernilai ekonomi tinggi, mudah dipasarkan, dan sesuai dengan kriteria wilayah.
Salah satunya program budi daya nanas di Teluk Batil, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau. Buah nanas telah menjadi komoditas unggulan dan sangat sesuai ditanam di desa tersebut.
Produksi buah nanas di desa ini tetap stabil dan bahkan cenderung mengalami peningkatan meski di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19 beberapa waktu lalu.
Hal itu dirasakan oleh Hadi Santoso, 43, seorang nasabah MKM Bank Riau Kepri Syariah, petani nanas Kecamatan Sungai Apit.
"Secara ekonomi, dulunya kami sangat sulit karena profesi saat itu hanya sebagai buruh pengangkut nenas yang penghasilannya tidak tetap. Kalau sedang sakit, pastinya tidak ada uang masuk. Saya dulu menangis karena tidak dapat membeli susu untuk anak yang tidak mendapatkan ASI dari ibunya," ungkap Hadi, Selasa (13/6/2023) saat ditemui di kebunnya.
Berangkat dari kisah pilu itu, Hadi kemudian termotivasi membeli lahan untuk ditanami nanas. Sembari menjalani profesi sebagai buruh, Hadi pelajari budi daya nanas melalui petani-petani ditempat ia bekerja tersebut.
"Jadi karena kita banyak teman untuk sharing dan diskusi. Awalnya ditahun 2009 itu kita tanam 3000 pokok menumpang di lahan milik mertua dengan luas sekitar 1000 meter persegi. Dan itupun bibitnya masih minta, karena belum ada modal untuk beli bibit. Bahkan untuk membersihkan lahan yang akan ditanam nanas itu dilakukan hanya bersama istri, hingga saat menanam bibit tangkai buah," kisahnya.
Setelah 16 bulan berjalan, Hadi akhirnya dapat memanen 3.000 pokok nanas yang bibitnya dulu didapatkan secara cuma-cuma dari temannya. Hadi merasa puas dengan hasil panen perdananya yang tidak mengeluarkan modal besar tetapi hasilnya dapat mengembangkan budi daya nanas yang dijalaninya bersama istri. Ia yakin, budi daya nanas yang dijalaninya itu dapat meningkatkan pendapatannya.
"Alhamdulillah, dari hasil panen tersebut kami memberanikan diri untuk melakukan pinjaman KUR ke BRK Syariah yang dulunya masih Bank Riau Kepri. Dari pinjaman awal Rp12 juta, kami beli lahan dan tanam 20 ribu bibit batang dengan pola tiga tahap setahun. Bibit batang ini berbeda dengan bibit tangkai buah yang kami tanam pertama itu, bedanya di masa waktu panen. Kalau yang bibit batang ini hanya 12 bulan maksimal untuk bisa dipanen, sedangkan bibit tangkai buah itu baru bisa dipanen setelah 16 bulan," ujarnya.
Tahun berikutnya, Hadi mulai mencari tenaga pekerja untuk di kebunnya, karena ia sudah melihat prospek dari budi daya nanas yang Tanpa Olah Tanah (TOT) ini sangat menjanjikan. Dari 20.000 pokok nanas itu, Hadi bisa panen hingga 30 ton.
Melihat pemasaran nanas juga tidak terlalu sulit, Hadi pun memperluas lahan kebun nanasnya dan bahkan ia tambah juga dengan menanam sawit. Untuk memperkuat modalnya ditahun ke enam, Hadi kembali mengajukan pinjaman ke BRK Syariah.
"Kenapa saya pinjam lagi ke BRK Syariah, karena proses pembiayaan di BRK Syariah itu sangat mudah dan cepat. Tidak bertele-tela hingga pencairan dana. Itulah alasannya saya masih setia dengan BRK Syariah, kalau soal bunga rata-rata hampir sama dengan bank lainnya. Pinjaman saya yang terakhir ini untuk cadangan modal saja. Karena kebun sudah bertambah luas, biaya operasional juga pastinya meningkat," kata Hadi yang dulunya bercita-cita jadi pemborong bangunan ini.
Diceritakan Hadi, nanas di kebunnya tidak melulu dipanen pada saat sudah masak saja. Bahkan ketika ada permintaan toke untuk di kirim ke Batam dan Jakarta, maka nanas di kebunnya sudah dipanen di usia muda. Sehingga saat sampai di daerah yang dituju sudah bisa untuk dikonsumsi.
"Kalau untuk daerah Pekanbaru dan sekitarnya biasanya itu panen nunggu masak, tetapi untuk yang luar provinsi itu membutuhkan waktu beberapa hari sampai di daerah tujuan. Dari rasa tentunya akan berbeda, pasti lebih manis yang dipetik saat sudah masak dari pada yang masih muda itu," sebutnya lagi.
Hadi mengaku, dari setiap panen nanas, ia memperoleh Rp60 juta per hektare. Meskipun angka ini terbilang masih rendah dari rekannya yang lain, Hadi memiliki alasan kenapa nilai yang diperolehnya itu sangat standar.
"Saat menanam, jarak bibitnya memang kita atur agar tidak terlalu rapat. Banyak risiko kemungkinan buruk jika bibit ini kita tanam rapat, salah satunya hama. Jika sudah banyak hama, maka hasilnya juga nanti tidak akan bagus, dan kita akan rugi karena itu. Jadi tidak masalah untuk yang didapat tidak banyak, tetapi kita tidak rugi," kata Hadi yang sangat teliti dalam memperhatikan hal tersebut.