Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Belajar Seni Budaya Pondasi Pembentukan Karakter Generasi Muda di Minangkabau

Seni budaya di tanah Minangkabau tak sebatas silek (silat), tari, pantun, dan permainan alat musik saja, serta hal lainnya.
Menari dan melompat di atas pecahan kaca. Bisnis/Muhammad Noli Hendra
Menari dan melompat di atas pecahan kaca. Bisnis/Muhammad Noli Hendra

Bisnis.com, PADANG - Seni budaya di tanah Minangkabau tak sebatas silek (silat), tari, pantun, dan permainan alat musik saja, serta hal lainnya.

Wujud seni yang dipertunjukan, tak hanya sebuah gerakan semata, bukan sekedar rangkaian kata demi kata saja, serta lantunan melodi yang asal dimainkan. Tapi ada rasa (penjiwaan), ada pesan, dan ada cerita yang disampaikan.

Proses ini yang menjadi pondasi terbentuknya karakter diri seorang seniman dalam mempelajari sebuah seni budaya di tanah Minangkabau, salah satunya mempelajari tari tradisional. 

Sanggar Tari dan Musik Sofyani, merupakan salah satu sanggar yang ada di Kota Padang, Sumatra Barat. Terdapat puluhan anak remaja hingga pelajar yang tergabung dari berbagai agama yang ada di Sumbar, ikut berlatih seni tari di sanggar tersebut.

Sanggar tari yang terletak di wilayah Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, ini bukanlah sebuah sanggar tari yang baru berdiri. 

Prestasi dan pertunjukan dari sanggar tari ini telah mencapai level internasional. Keberhasilan yang dicapai itu, tak terlepas dari komitmen dan konsisten para pelajar hingga mahasiswa saat berproses menjadi penari tradisional.

Lalu, kenapa anak-anak yang belajar tari tradisional ini bisa mencapai prestasi yang begitu menakjubkan, dan bahkan telah tampil di berbagai negara? 

Bisnis Indonesia berkesempatan melihat dan menyaksikan secara langsung proses latihan anak-anak tersebut di Sanggar Tari dan Musik Syofyani pada Jumat (14/4) lalu.

Ada seseorang yang membimbing para pelajar menjadi seorang penari yang bukan sekedar pandai, tapi benar-benar bisa menari dengan baik.

"Hanya di Antartika saja kami belum tampil. Di negara lainnya sudah. Dengan seni budaya lah kami bisa berkeliling dunia," kata Owner sekaligus instruktur Sanggar Tari dan Musik Sofyani, Sofi Yuanita (48), kepada Bisnis di Padang, Selasa (18/4/2023).

Sofi Yuanita atau akrab disapa Ade mengaku tidak mudah untuk mengajak dan melatih para pelajar untuk bisa menari tradisional secara baik dan benar.

Rasa jenuh dan kesal sudah menjadi hal yang rutin dialami oleh Ade saat berhadapan langsung membimbing para pelajar yang belajar tari tradisional di Sanggar Tari dan Musik Syofyani itu.

"Saya selalu menekankan kepada anak-anak, silahkan jika ingin belajar tari modern lainnya. Tapi selaku orang Sumbar atau Minang, Anda harus paham dulu dengan tari tradisional," begitu ungkapan Ade.

Alasan dia menekankan agar para generasi muda di Minangkabau harus memahami nilai budaya lokal terlebih dahulu, ketimbang lebih dahulu pandai mempelajari budaya barat. 

Karena ada nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi modal untuk membentuk sebagai seseorang yang benar-benar mengedepan sikap yang sesuai sebagai perempuan Minang, atau sebagai generasi yang menjunjung tinggi sikap sopan santun.

Ade juga membagikan pengalamannya, selaku sosok yang dibesarkan oleh tari tradisional. Hal ini tak terlepas dari peran kedua orang tuanya yang merupakan pendiri Sanggar Tari dan Musik Syofyani. Hal yang paling dirasakan berawal dari sikap dan karakter diri.

"Setelah saya dalami betul, ketika itu saya sudah di sekolah dasar saat belajar menari. Menjadi penari tradisional di Sumbar ini, secara tidak langsung turut menuntun saya menjadi seorang anak yang sopan santun," jelas dia.

Sopan santun yang dimaksud, dimulai dari cara duduk dan berdiri perempuan Minangkabau. Sumbar yang berpegang teguh dengan falsafah Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), seakan menjadi pedoman bagi perempuan Minangkabau dalam menjalani kehidupan hari demi hari.

Artinya dari satu gerakan tari saja, ada banyak pesan hidup yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari, seperti halnya cara menari itu sendiri, yang terlihat anggun dan tidak menonjolkan hal-hal yang membuat orang menyaksikannya berpikiran negatif.

"Perempuan Minangkabau itu pakaianan harus sopan santu yakni menutupi aurat. Begitupun saat dalam menampilkan tari tradisional dalam acara-acara tertentu, selalu tampil menawan dan sopan dan sisi pakaian, karena menggunakan pakaian khas perempuan Minang," ungkap dia.

Ade mengaku dari sisi pribadi yang dirasakannya mulai dari belajar hingga kini telah menjadi instruktur sekaligus pada sanggar yang didirikan oleh kedua orang tuanya itu, penting untuk ditularkan kepada generasi muda di Sumbar.

Dia menilai bila generasi muda memahami nilai-nilai budaya dengan baik, maka generasi itu akan mampu menghadirkan sebuah bangsa yang kondusif. Hanya saja, merangkul anak muda untuk belajar seni tari tersebut tidaklah mudah.

"Dari sepuluh orang anak yang didik, tidak semua anak-anak itu jadi pecinta tari tradisional. Mungkin lebih ke tari modern seperti yang ada di daerah barat. Tapi menjadi penari modern bukanlah hal yang buruk, namun ada hal yang perlu dipahami," tegasnya.

Ade menyampaikan tari tradisional Minangkabau itu di setiap gerakannya, dasar nya berpijak dari cara silat. Artinya ada makna dari setiap gerak yang dilakukan, dan ada cerita yang disampaikan.           

Tari Piring dari Sanggar Tari dan Musik Syofyani
                                                     
Seperti untuk mempelajari Tari Piring, anak-anak yang belajar Tari Piring, bila hanya sekedar pandai menari, mungkin tidak membutuhkan waktu yang panjang melatihnya.

Tapi untuk melatih anak-anak agar bisa melakukan Tari Piring, butuh waktu dan proses yang cukup panjang. Hal ini dikarenakan, tari yang ditampilkan oleh pelajar yang dilatih itu, bukan sekedar gerakan saja, tapi memiliki sebuah gerakan yang bermakna, ada penjiwaan.

"Saya diajarkan oleh kedua orang tua saat awal belajar tari piring dulu. Untuk melatih gerakan tangan dan jari itu, dicontohkan seperti memetik bunga. Jadi disampaikan melalui sebuah cerita," ujarnya.

"Memetik bunga itu, ada caranya, bersihkan dulu daun-daun yang ada di tangkainya, sehelai demi sehelai daun dipetik. Setelah itu, barulah dipetik bunganya. Begitu pula saat saya memberikan pemahaman kepada anak-anak yang ikut belajar tari piring itu," sambung Ade.

Baginya, dalam mengajarkan tari itu, harus bercerita. Karena melalui bercerita tersebut, anak-anak jadi mudah memahami, serta menangkap makna tari yang ditampilkan.

Begitupun soal Tari Piring, ada seorang penari yang bisa melompat lompat di atas pecahan kaca, namun tidak ada goresan luka di bagian telapak kakinya.

"Hal itu bukan sulap, bukan debus, dan bukan ajaib. Tapi hal itu berawal dari kejujuran dari si penari itu, bahwa dalam memberikan pertunjukan tersebut tidak boleh ada rasa sombong di dalam hati," sebut Ade.

Menjadi penari piring yang melompat-lompat di atas pecahan kaca itu, modalnya adalah tidak memiliki rasa sombong. Bila ada rasa sombong sebelum memberikan pertunjukan, maka dapat dipastikan akan sangat mudah terluka akibat pecahan kaca.

Poin di sini yang mengajarkan bahwa menjadi manusia janganlah sombong, karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong. 

"Bila Allah tidak suka, maka Allah tidak akan melindungi dan menjaga dia. Akibatnya, bisa buruk dampaknya," jelas Ade.

Dalam setiap penampilan, Ade menyarankan kepada penari yang bertugas melompat lompat di atas pecahan kaca itu, agar mengambil air wudhu terlebih dahulu.  
Dengan demikian, akan dapat menenangkan diri dan pikiran, serta membersihkan diri dari gangguan hal-hal negatif lainnya.

"Jadi melompat lompat di atas pecahan kaca itu, bukanlah aksi ajaib. Semuanya berjalan secara normal, hanya saja buanglah rasa sombong," ucapnya.

Anak Pilihan Menari di Atas Pecahan Kaca

Ade menceritakan, kendati poin utama adalah tidak boleh sombong untuk bisa menari dan melompat di atas pecahan kaca. Ternyata tidak sembarang anak yang bisa dipilih untuk berperan dalam aksi tersebut.

"Jadi anaknya memang dipilih, tidak asal-asalan ditunjuk," tegasnya.

Proses menentukan anak yang bisa memainkan peran itu, diakuinya memang dilakukan pemantauan secara pribadi, tanpa sepengetahuan dari anak yang hendak dituju.

"Ketentuan awalnya itu, saya memilih anak untuk menari di atas pecahan kaca, biasanya anak dengan postur tubuh agak kecil, karena dengan demikian loncatnya agak tinggi," ucapnya.

Selain itu, anak yang dimaksud, juga akan dipantau dari kehidupan sehari-hari saat berada di sanggar, di rumah, di sekolah, dan soal ibadahnya, serta soal pergaulannya.

"Bila anak yang dipantau ini dinilai pas untuk melakukan aksi menari dan melompat di atas pecahan kaca itu, barulah saya tunjuk. Biasa awalnya menolak, tapi saya bimbing, akhirnya bersedia," jelasnya.

Bahkan Ade menyatakan untuk anak yang dipilih menari di atas kaca itu, tidak harus seorang perempuan, tapi laki-laki juga bisa. Serta tidak harus anak muslim, boleh dari agama lainnya, asalkan dalam hati tidak memiliki rasa sombong, serta harus menyakinkan diri dulu.

Namun di satu sisi Ade mengaku, dalam beberapa penampilan, tidak terlepas dari kecelakaan yakni ada penari yang terluka.

"Hal itu terjadi, dapat dipastikan anaknya muncul rasa sombong. Misalnya merasa bangga karena aksi-aksi sebelumnya baik-baik saja. Intinya sombong lah, walaupun tidak diucapkan, tapi di dalam hati berkata demikian. Hal-hal sekecil itu, bisa melukai dirinya," ungkap Ade.

Makna Menari dan Melompat di Atas Pecahan Kaca

Ada makna pada aksi yang cukup mengerikan itu, Ade menjelaskan makna aksi tersebut yakni berawal dari bentuk rasa kegembiraan dan rasa syukur atas panen yang berlimpah.

"Panen sukses, hama lewat, sehingga kaca itu jadi umpama bahwa kejelekan itu harus dimusnahkan. Sesuatu yang tidak bagus, tidak perlu untuk disanjung," tegasnya.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada setiap gerakan Tari Piring ini, ada makan dan pesan yang disampaikan.

Untuk membimbing pelajar supaya bisa melakukan Tari Piring butuh waktu, dan tidak ada yang instan. "Yang menari itu mulai usia remaja yakni 16 tahun hingga sudah beranjak dewasa 25 tahun," tutup Ade.

Cerita Si Penari di Atas Pecahan Kaca

Malaeka Hadinda Aulia merupakan seorang penari yang bertugas dalam melakukan aksi menari dan melompat di atas pecahan kaca.

Aulia begitu teman-temannya menyapa, merupakan seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Padang. 

Dia adalah anak yang terpilih dan dipercaya oleh Sanggar Tari dan Musik Syofyani untuk menari dan melompat di atas pecahan kaca dalam pertunjukan Tari Piring.

"Suatu kehormatan bagi saya, dipilih untuk melakukan aksi itu. Padahal dari awal ingin belajar tari di sanggar tersebut, target bukan menjadi orang yang bisa menari di atas pecahan," kata Aulia.

Rasa khawatir diakuinya menjadi hal yang selalu menghantui ketika awal-awal belajar dan mencoba untuk melakukan aksi tersebut.

"Jangankan menari dan melompat di atas pecahan kaca, sebelum saya bergabung ke sanggar ibu Ade, kena sedikit pisau silet saja, berdarah," jelasnya.

Akan tetapi, setelah bergabung dan mengikuti rangkaian latihan menjadi seorang penari tradisional, Aulia merasakan betul dari sisi dirinya, bahwa ada hal yang berubah.

Dari awal menjadi anak yang pemalu, sekarang menjadi anak yang periang. Serta hal terpenting yang dirasakannya semenjak belajar seni budaya tari tersebut, bagaimana menjadi sosok perempuan Minang.

"Ternyata ada cara khusus bagi seorang perempuan itu bila melakukan sesuatu hal, mulai dari saat berdiri, duduk, dan hal lainnya itu. Intinya belajar seni budaya itu, bagi saya membentuk pribadi menjadi orang yang mengedepankan sikap sopan dan santun," ujarnya.

Baginya mempelajari seni tari tradisional itu, tidak hanya memberikan manfaat dari sisi pertemanan sesama seniman, bukan hanya bisa memperluas pergaulan saja.

Tapi mental dan sikap yang terbentuk selama belajar seni budaya itu, bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari di dalam keluarga maupun di lingkungan tempat tinggal.

"Apa yang saya rasakan bagi pribadi saya ini, tidak akan habis di sana. Pengetahuan tentang menjadi orang yang hidup dari seni ini, akan saya terapkan kepada keluarga hingga ke teman-teman terdekat saya. Supaya kami menjadi generasi yang berbudaya," tegas Aulia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper