Bisnis.com, PADANG - Di sebuah gang kecil di Kota Padang, aroma manis gurih menyeruak dari sebuah bangunan sederhana. Dari luar, tempat itu tampak biasa saja, namun siapa sangka, dari ruang inilah lahir kecap legendaris yang sudah ada sejak tahun 1942.
Bukan sekadar bumbu dapur, kecap ini adalah bagian dari sejarah panjang kota, saksi bisu perjuangan sebuah keluarga, dan bukti bahwa tradisi bisa tetap hidup di tengah modernisasi.
Pemiliknya kini adalah Cherry Angdia, seorang wanita yang sempat lama merantau di Jakarta. Pada tahun 2015, ia memutuskan untuk kembali ke Padang. Alasannya sederhana, namun sarat makna, melanjutkan usaha keluarga yang telah dirintis sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
“Kalau bukan saya yang melanjutkan, siapa lagi? Adik saya yang sebelumnya mengurus usaha keluarga ini telah meninggal, makanya saya yang bertanggung jawab sekarang,” katanya sambil tersenyum, Minggu (24/8/2025).
Kecap yang diproduksi UD. Bintang Mas ini lahir dari tangan generasi pertama keluarganya yang merintis usaha kecil di masa-masa sulit. Tahun 1942 bukanlah tahun yang mudah, Indonesia masih berada dalam bayang-bayang Perang Dunia II, dengan kekuasaan kolonial yang ketat. Namun, di tengah keterbatasan itu, lahirlah sebuah usaha rumahan yang mengandalkan keuletan dan kerja keras.
Pada masa itu dan hingga sekarang, pembuatan kecap masih sepenuhnya tradisional. Biji kedelai direbus dalam panci besar, dicampur dengan bumbu rempah pilihan, kemudian difermentasi dalam guci tanah liat. Tidak ada mesin modern, hanya tenaga manusia dan kesabaran.
Baca Juga
Cherry menjelaskan proses fermentasi membutuhkan waktu panjang, minimal selama 3 bulan, bahkan bisa lebih. Namun dari kesabaran itulah lahir cita rasa khas yang membuat kecap ini berbeda. Kini, delapan dekade kemudian, resep itu masih dijaga dengan baik. Tidak ada yang berubah, bahkan cara memasak dan fermentasinya pun tetap sama.
“Ini soal rasa yang dijaga dari masa ke masa. Hanya kemasan dan takaran isinya saja yang berubah, karena mengikuti kebutuhan konsumen,” jelasnya.
Perjalanan panjang usaha ini tidak selalu mulus. Gempa besar yang melanda Padang pada 2009 menjadi pukulan telak. Ratusan guci tanah liat yang menjadi wadah fermentasi kecap hancur berkeping-keping.
Padahal guci itu bukan guci biasa, guci itu didatangkan langsung dari Tiongkok puluhan tahun silam, dan kini hanya tersisa beberapa guci saja, dan sebagai penggantinya, Cherry mencarikan guci yang kondisinya tetap aman sebagai tempat fermentasi kecap.
“Waktu itu rasanya seperti kehilangan segalanya. Guci-guci itu bukan hanya wadah, tapi jiwa dari proses produksi kami,” kenang Cherry
Kehilangan guci, bukan berarti kehilangan alat utama untuk menghasilkan kecap dengan cita rasa otentik. Banyak orang mungkin akan menyerah, menutup usaha, dan beralih ke cara modern. Namun keluarga Cherry memilih bertahan. Dengan sisa guci yang masih utuh, mereka melanjutkan produksi, meski dalam skala lebih kecil.
Keputusan Cherry kembali ke Padang pada 2015 bukanlah hal yang mudah. Di Jakarta, dia sudah memiliki pekerjaan mapan dan kehidupan yang stabil. Namun, panggilan hati untuk menjaga warisan keluarga membuatnya mengambil langkah berani.
“Bagi orang lain mungkin kecap ini hanya produk. Tapi bagi saya, ini adalah cerita panjang keluarga, identitas, sekaligus warisan yang tidak ternilai,” katanya.
Sejak itu, dia terjun langsung dalam proses produksi. Dari memilih kedelai, merebus, mencampur bumbu, hingga mengawasi fermentasi di guci-guci tua. Semua dilakukan dengan telaten. Dia juga harus belajar bagaimana menjaga kualitas rasa, karena sedikit saja kesalahan bisa membuat cita rasa berubah.
Di era modern, ketika banyak industri makanan beralih ke mesin cepat, Cheery justru memilih bertahan dengan cara tradisional. Tidak ada mesin otomatis di ruang produksinya. Semua masih dilakukan secara manual.
Proses dimulai dari perebusan kedelai yang memakan waktu berjam-jam. Setelah itu, kedelai dicampur dengan bumbu rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga. Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam guci tanah liat dan difermentasi selama berbulan-bulan.
Selama proses itu, guci harus dijaga dengan baik suhu, kelembaban, hingga kebersihan ruangan menjadi faktor penting. “Kalau pakai mesin modern, mungkin bisa lebih cepat. Tapi rasanya tidak akan sama. Rasa khas itu hanya keluar dari fermentasi alami dalam guci,” jelasnya.
“Kesabaran adalah kunci. Tidak ada jalan pintas. Justru di situlah letak nilai tambah kecap ini. Pelanggan yang setia tahu betul perbedaan rasanya dibanding kecap pabrikan,” sambung dia.
Bagi Cheery, kecap bukan hanya soal rasa. Setiap tetes kecap menyimpan cerita panjang tentang perjuangan keluarga. Ia adalah bukti ketekunan, ketabahan menghadapi bencana, sekaligus simbol cinta terhadap tradisi.
“Banyak yang bilang kecap ini punya rasa nostalgia. Mungkin karena mereka merasakan bukan hanya manisnya kecap, tapi juga manisnya kenangan,” katanya
Kecap ini tidak hanya dipasarkan di Sumatra Barat, tapi pelanggan dari luar daerah juga, seperti Riau hingga ke Jakarta. Dengan rasa, kecap manis, kecap asin, hingga tauco.
Meski usaha ini sudah melewati usia lebih dari 80 tahun, Cherry tidak ingin berhenti di sini. Dia bercita-cita memperluas distribusi tanpa mengorbankan keaslian proses produksi. Tantangan terbesar adalah keterbatasan guci fermentasi yang semakin langka.
Menjelang senja, aroma kecap yang sedang dimasak memenuhi udara di sekitar rumah produksi. Uap panas mengepul, bercampur dengan harum kedelai dan bumbu rempah. Di sudut ruangan, barisan guci tua berdiri kokoh, seakan menjadi saksi bisu perjalanan panjang keluarga Cherry.
Di era ketika segalanya serba cepat, kecap tradisional ini hadir sebagai pengingat bahwa kesabaran dan ketekunan masih punya tempat. Di balik setiap tetes kecap, ada cerita tentang cinta, warisan, dan perjuangan. Dan di Padang, cerita itu terus ditulis sejak 1942, hingga hari ini.