Bisnis.com, MEDAN - Secara keseluruhan, luas tutupan hutan di Sumatra Utara bertambah kurun 10 tahun terakhir.
Pada 2011, tutupan hutan di Sumatra Utara tercatat seluas 1.885.346,73 hektare. Luasnya menjadi 1.885.986,84 hektare pada 2021.
Dengan demikian, terdapat penambahan tutupan hutan seluas 640,11 hektare kurun 10 tahun atau 64,01 hektare per tahun.
Walau secara keseluruhan luas tutupan hutan bertambah, namun terdapat fakta yang justru mencengangkan. Tutupan hutan di sejumlah daerah yang notabene habitat bagi berbagai satwa langka justru menyusut drastis.
Berdasar catatan Dewan Kehutanan Daerah Sumatra Utara, setidaknya 10 dari 33 kabupaten dan kota di provinsi itu mengalami deforestasi kurun 10 tahun terakhir.
Data itu mengacu pada hasil analisa citra satelit yang dilangsir dari berbagai sumber. Termasuk citra satelit yang digunakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Penyusutan tutupan hutan terluas dialami oleh Kabupaten Mandailing Natal. Pada 2011, luasnya masih tercatat 323.290,32 hektare. Namun pada 2021 luas menyusut jadi 283.161,20 hektare.
Tak tanggung-tanggung, terjadi penyusutan hingga 40.129,12 hektare kurun 10 tahun atau 4.012,91 hektare per tahun.
Pada periode yang sama, penyusutan drastis juga dialami Kabupaten Padang Lawas. Kurun 10 tahun, terjadi penyusutan hingga 17.291,17 hektare atau dengan kata lain 1.729,12 hektare per tahun.
Begitu juga dengan luas tutupan hutan di Kabupaten Labuhan Batu Utara. Luasnya menyusut 12.304,63 hektare dalam 10 tahun. Kemudian di Kabupaten Tapanuli Selatan kehilangan 9.445,69 hektare dalam 10 tahun, lalu Kabupaten Dairi dengan penyusutan 6.911,29 hektare dan Kabupaten Karo kehilangan seluas 5.016,59 hektare.
Tak sampai di situ, nasib serupa juga dialami beberapa kabupaten lainnya dalam 10 tahun terakhir ini. Penyusutan juga dialami Kabupaten Asahan seluas 3.088,83 hektare, lalu Kabupaten Langkat seluas 2.071,83 hektare.
Kemudian Kabupaten Nias Utara seluas 1.382,92 hektare, Kabupaten Labuhan Batu seluas 748,23 hektare dan Kabupaten Serdang Bedagai seluas 225,17 hektare.
Menurut Ketua Dewan Kehutanan Sumatra Utara Panut Hadisiswoyo, penyusutan luas tutupan hutan dalam 10 tahun terakhir tak pelak memicu berbagai persoalan lingkungan.
Seperti peningkatan intensitas konflik satwa-manusia di beberapa daerah. Sejumlah hewan langka terancam punah belakangan ini diketahui semakin sering keluar dan menampakkan diri di sekitar permukiman manusia.
Contohnya harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), gajah Sumatra (Elephas maximus sumatrensis), orang utan Sumatra (Pongo abelii) dan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Panut memprediksi perilaku mereka juga tak lepas dari penyusutan luas tutupan hutan yang terjadi. Mirisnya, keempat satwa endemik itu kerap jadi korban.
"Penyebab utama terjadinya konflik manusia dan satwa liar adalah hilangnya tutupan hutan yang merupakan habitat satwa liar," ujar Panut kepada Bisnis, Selasa (24/5/2022).
Panut mengatakan, tutupan hutan yang hilang menyebabkan fragmentasi habitat dan menganggu rantai makanan.
"Sehingga tidak heran kalau misalnya harimau kini terlihat di daerah perkebunan maupun pemukiman mencari makanan. Akibatnya terjadi konflik yang terus menerus," katanya.
Di samping merugikan habitat satwa, penyusutan hutan juga diduga jadi penyebab peningkatan skala bencana alam di Sumatra Utara.
Berdasar catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terjadi 44 kali bencana banjir serta 22 kali bencana tanah longsor di Sumatra Utara sepanjang 2021 lalu.
Bencana tersebut merenggut 27 korban jiwa dan menyebabkan 69 orang mengalami luka. Tak cuma itu, ada tiga orang yang dinyatakan hilang serta 296 warga mengungsi.
Panut juga menyoroti persoalan banjir yang tak pernah tuntas di Kota Medan. Kota ini diketahui hanya memiliki tutupan hutan seluas 1.168,48 hektare pada 2021, luasnya bertambah 484,63 hektare dari 10 tahun lalu.
Menurut Panut, bencana banjir di kota tersebut tak lepas dari penyusutan hutan di beberapa daerah tetangga yang menjadi penyangga. Seperti Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo.
"Pencegahan dan penanganan bencana banjir di kota Medan tidak akan berhasil apabila daerah hulu tidak dipertahankan tutupan hutannya," ujarnya.
Panut mengatakan, hutan di wilayah Kabupaten Karo sangat berperan penting bagi Kota Medan. Sayangnya, hutan di taman hutan raya (Tahura) kini juga kian berkurang.
"Tahura Bukit Barisan yang merupakan daerah tangkapan air atau hulu sungai semakin berkurang tutupan hutannya akibat perambahan untuk perluasan pertanian dan illegal logging," ujar Panut.
Selain deforestasi yang dialami 10 daerah di atas, terdapat kabupaten dan kota lainnya di Sumatra Utara yang justru mengalami penambahan luas tutupan hutan atau reforestasi kurun 10 tahun terakhir.
Penambahan tutupan hutan terluas dialami oleh Kabupaten Tapanuli Utara. Yakni bertambah 20.903,39 hektare atau 2.090,34 hektare per tahun.
Kemudian Kabupaten Toba Samosir atau Kabupaten Toba yang bertambah seluas 16.228,69 hektare, lalu Kabupaten Nias seluas 14.912,91 hektare dan Kabupaten Padang Lawas Utara seluas 11.849,05 hektare.
Sedangkan daerah selebihnya mengalami penambahan tutupan hutan relatif kecil kurun 10 tahun terakhir. Seperti Kabupaten Humbang Hasundutan seluas 8.061,25 hektare, lalu Kabupaten Nias Selatan seluas 5.431,46 hektare, Kabupaten Labuhan Batu Selatan seluas 4.945,55 hektare dan Kabupaten Simalungun seluas 4.327,32 hektare.
Kemudian penambahan tutupan hutan juga dialami Kabupaten Samosir seluas 4.281,98 hektare, Kabupaten Deli Serdang yang bertambah seluas 2.539,62 hektare.
Lalu Kota Gunung Sitoli bertambah seluas 1.951,97 hektare, Kabupaten Tapanuli Tengah seluas 1.302,91 hektare, Kabupaten Pakpak Bharat seluas 1.126,93 hektare dan beberapa daerah lainnya dengan persentase kecil.