Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PP Gambut : Praktisi Coba Rayu Menko Perekonomian

Praktisi gambut akan meyakinkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengevaluasi regulasi gambut yang berdampak bagi bisnis perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.
Ilustrasi/prpn4.co.id
Ilustrasi/prpn4.co.id

Bisnis.com, PALEMBANG – Praktisi gambut akan meyakinkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengevaluasi regulasi gambut yang berdampak bagi bisnis perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Menyusul Rapat Kebinet Kerja Terbatas pekan lalu, Kemenko Perekonomian ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo untuk mengkaji kembali PP No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut beserta turunannya. Beleid itu dikeluhkan kalangan pelaku usaha lantaran mengancam keberlangsungan usaha berbasis lahan gambut.

“Karena ramai dibicarakan, persoalan regulasi gambut diserahkan ke Kemenko Perekonomian. Besok Jumat [5/5/2017] atau Senin [8/5/2017] saya diundang untuk berdiskusi dengan Menko Perekonomian,” tutur Ketua Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham dalam acara Focus Group Discussion Pengelolaan Gambut Lestari Mendukung Pertumbuhan Ekonomi di Palembang, Kamis (4/5/2017).

Supiandi menilai pelibatan kalangan ahli dan praktisi gambut sebagai langkah maju. Pasalnya, menurut dia, proses penyusunan PP 57/2016 tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan karena pemerintah ketika itu menganggap substansinya tidak berbeda jauh dengan PP 71/2014.

Pengajar Departemen Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) ini tidak mau berandai-andai apakah hasil diskusi itu nantinya mengarah kepada revisi PP No. 57/2016. Namun, Supiandi menilai akan lebih sulit merevisi PP dibandingkan dengan mengubah peraturan menteri turunannya.

“Kalau diminta revisi, saya tidak tahu mekanismenya. Tapi sekarang bola ada di tangan Pak Menko Perekonomian,” ucapnya.

HGI menyesalkan sejumlah klausul dalam PP 57/2016 karena dianggap tidak berbasis ilmiah. Beleid itu, misalnya, mewajibkan pemegang konsesi untuk mengalokasikan 30% areal kerja sebagai zona lindung dalam skema kesatuan hidrologis gambut. Selain itu, penetapan tinggi muka air sedalam 0,4 meter dari permukaan gambut di zona budi daya dinilai tidak membuat gambut dalam kondisi rusak.

Operasionalisasi PP 57/2016 untuk gambut dalam kawasan hutan dan areal penggunaan lain diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No. 15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut, dan Permen LHK No. 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Untuk usaha hutan tanaman industri (HTI), pengaturan secara khusus dimuat dalam Permen LHK No. 17/2017 tentang Perubahan atas Permen LHK No. 12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Adapun, regulasi kelapa sawit dibuat tersendiri oleh Kementerian Pertanian.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Iman Santoso mengingatkan dampak regulasi gambut terhadap perekonomian negara. Jika aturan itu tetap berlaku maka areal HTI bakal berkurang sehingga potensi pungutan pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan tenaga kerja akan menyusut.

“Kami berharap KLHK bisa kembali memonitor apakah efektif atau tidak PP dan empat Permen LHK itu,” ujarnya di lokasi yang sama.

Berdasarkan data KLHK, saat ini 2,64 juta hektare (ha) gambut berada di dalam 101 konsesi HTI dengan sekitar 1,5 juta ha merupakan fungsi lindung. KLHK pun menawarkan skema tukar guling lahan (land swap) bila ada perusahaan yang 40% areal kerjanya ditetapkan sebagai zona lindung.

Meski menuai protes, Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut (BRG) Azwar Maas mengajak kalangan pelaku usaha untuk memahami alasan di balik penerbitan PP tersebut adalah munculnya kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Selama bertahun-tahun, gambut dieksploitasi secara berlebihan sehingga kelembabannya tidak terjaga.

“Aturan ini kan baru. Tidak usah terlalu galau dengan peraturan karena ada sisi positifnya,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper