Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Senja Kala Pabrik Karet di Sumbar, Gulung Tikar Tergerus Alih Lahan

Pabrik karet di Sumatera Barat satu per satu tutup karena langkanya pasokan bahan baku. Petani memilih alih lahan karena latexs dihargai murah.
Buruh mengumpulkan hasil sadapan getah karet ke atas truk di perkebunan karet Pasir Ucing, Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (1/2/2021). Pabrik karet di Sumbar banyak gulung tikar karena langkanya pasokan bahan baku. Bisnis/Rachman
Buruh mengumpulkan hasil sadapan getah karet ke atas truk di perkebunan karet Pasir Ucing, Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (1/2/2021). Pabrik karet di Sumbar banyak gulung tikar karena langkanya pasokan bahan baku. Bisnis/Rachman

Bisnis.com, PADANG – Satu per satu pabrik karet di Sumatra Barat gulung tikar, tergerus minimnya pasokan bahan baku karena alih fungsi lahan. Senja kala industri latex di Tanah Gadang dimulai.

Penutupan pabrik karet tersebut diungkapkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Sumatra Barat.

Kepala Bidang Industri Non Agro, Disperindag Sumbar Wahendra mengatakan ada tiga pabrik karet awal 2023 ini. Penutupan, ungkapnya, karena kekurangan suplai getah karet dari petani.

"Mereka menyatakan jika suplai sedikit, sementara pabrik tetap beroperasi, yang ditimbulkan membuat perusahaan merugi. Biaya produksi tidak mengimbangi biaya operasional," katanya ketika dihubungi Bisnis di Padang, Senin (27/2/2023).

Dia menjelaskan proses penutupan pabrik sudah dimulai Desember 2022, soal hak pekerja diklaim sudah dituntaskan. Begitu pun soal surat pernyataan penutupan pabrik juga telah disampaikan ke Disperindag.

Wahendra menyebutkan tiga pabrik karet yang tutup merupakan perusahaan besar, yakni PT Lembah Karet dan PT Batanghari Barisan. “Satu perusahaan lagi saat ini tengah proses pengurusan penutupan," ungkapnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa di wilayah Sumbar terdapat 8 perusahaan karet yang beroperasi. Dengan penutupan 3 pabrik, menyisakan 5 perusahaan karet di kawasan tersebut.

Namun, 5 perusahaan yang tersisa, bukan pabrik karet, melainkan perusahaan penyuplai latexs. Oleh sebab itu, kata Wahendra, dengan penutupan 3 pabrik karet tersebut bakal berdampak pada 5 perusahaan karet yang ada saat ini.

"Lima perusahaan yang ada saat ini, tergolong perusahaan yang kecil-kecil, mereka menyuplai karet perannya. Bukan seperti 3 pabrik yang tutup ini, selain menerima karet, mulai melakukan pengeringan karet terlebih, sebelum benar-benar diekspor," jelasnya.

Adapun 3 perusahaan karet yang tutup tersebut, terbilang sudah cukup lama beroperasi di Sumbar, yakni sejak 1980-an dan 1990-an.

Dengan adanya kondisi yang seperti ini, Wahenda menegaskan, saat ini Pemprov Sumbar bersama sejumlah pihak tengah mencari solusi agar dampak dari tutupnya 3 pabirk karet itu, tidak berdampak buruk bagi perkebunan karet di Sumbar.

Alih Fungsi Lahan Karet

Secara terpisah, Plt. Kepala Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumbar Ferdinal Asmin menyatakan perkebunan karet di Sumbar mengalami ddilema.

"Bahkan ada petani yang melakukan alih fungsi lahan dari perkebunan karet dan diganti komoditas pertanian lainnya. Memang itu yang terjadi saat ini," kata Ferdinal.

Penyebab utama masalah tersebut, karena harga karet terlihat sulit membaik dari tahun ke tahun. Sementara itu, untuk proses panen membutuhkan waktu dan tenaga besar.

Saat ini harga karet di Sumbar masih di bawah Rp10.000 per kilogram. Nilai itu dinilai petani tidak sebanding dengan proses panen yang dilakukan.

"Pada pekan lalu dan saat ini harga karet di Sumbar di tingkat petani Rp7.000 per kilogram dan ditingkat pedagang Rp10.000 per kilogram," jelasnya.

Sementara itu, dengan harga ditingkat petani Rp7.000 per kilogram itu, tidak mampu memupuk semangat petani untuk tetap bertahan memanen karetnya.

Ferdinal menyebutkan menyikapi kondisi itu, Pemprov Sumbar tidak akan lepas tangan dan membiarkan perkebunan karet punah. Karena karet merupakan salah satu komoditas unggulan di Sumbar.

Langkah-langkah yang dilakukan itu perlu mempersiapkan hilirisasinya, seperti Unit Pengelolahan Hasil (UPH). Dengan demikian mutu karet bisa ditingkatkan.

"Mutu karet menjadi poin penting, hal ini sesuai dengan Perda Komoditas Unggulan yang ada di Sumbar. Jadi UPH ini perlu diterapkan," sebutnya.

Sesuai dengan Perda Komoditas Unggulan, hal yang perlu dilakukan adalah tata kelola karet, mutu, dan pemasarannya.

Untuk itu, UPH itu, sifatnya akan dikelola Kelompok Tani, sehingga hasil panen bisa tertata dengan baik pula.

Ferdinal mengatakan perkebunan karet di Sumbar tersebar di Kabupaten Pasaman, Solok Selatan, Dharmasraya, Sijunjung, Limapuluh Kota, dan ada juga di Kota Padang.

Secara keseluruhan lahan perkebunan karet di Sumbar mencapai 180.213,09 hektare pada tahun 2022, lalu di tahun 2021 luas lahannya 189.319,19 hektare.

Artinya terjadi pengurangan lahan perkebunan karet seluas 106,10 hektare. Dari luas lahan itu, produksi karet di Sumbar pada tahun 2022 itu 156.486,20 ton dan di tahun 2021 sebanyak 145.585,06 ton.

Dari sisi produksi, ternyata komoditas karet di Sumbar mengalami peningkatan sebanyak 10.901,14 ton.

"Jadi untuk petani karet di Sumbar ini dari data sementara tahun 2022 itu kita mencatat berjumlah 162.946 KK dan di tahun 2021 139.200 KK, atau jumlah petani karet di Sumbar tercatat mengalami peningkatan sebesar 23.751 KK.

Untuk itu, Ferdinal menyatakan Pemprov Sumbar tidak akan membiarkan komoditas karet di daerahnya itu habis seiring waktu berjalan menghadapi persoalan yang ada tersebut. Persoalan harga akan diupayakan dengan meningkatkan mutu karetnya.

Petani Memilih Terlantarkan Kebun

Sementara itu, salah seorang petani karet di Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Rian, mengatakan, hampir dua bulan ini atau sejak awal 2023 dirinya tidak lagi memanen karet di kebunnya, karena lelah melihat harga karet yang tidak kunjung membaik.

"Saya punya kebun karet tiga hektar, tidak ada saya ke kebun sejak dua bulan ini. Saya tinggalkan begitu saja," ujarnya.

Dia menyampaikan dengan kondisi harga karet yang tidak sampai Rp10.000 per kilogram ini, bila dipaksakan untuk tetap memanen karet itu, maka sama saja besar pasak daripada tiang.

"Lebih besar biaya dan menghabiskan waktu untuk memanen karet itu, jika diukur dinilai nilai harga karet saat ini," ujarnya.

Rian mengaku belum memastikan langkah apa yang akan diambil terhadap kebunnya itu, karena saat ini dia memilih untuk menjalani usaha lainnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper