Bisnis.com, PADANG — Pembangunan lanjutan Jalan Tol Padang - Pekanbaru untuk ruas Payakumbuh - Pangkalan, Provinsi Sumatra Barat, mendapati sejumlah persoalan.
Dimana terdapat lima nagari/desa yang sampai saat ini bersikukuh menentang pembangunan jalan tol itu, yakni Nagari Koto Baru Simalanggang, Nagari Koto Tangah Simalanggang, Nagari Taeh Baruah, Nagari Lubuak Batingkok dan Nagari Gurun
Juru Bicara masyarakat, Ezi Fitriana, mengatakan, adanya lima desa yang menentang pembangunan jalan tol Payakumbuh - Pangkalan itu, karena rencana trase jalan ada yang melintasi dan membelah kawasan pertanian yang masih produktif, melintasi pemukiman padat penduduk, serta juga melintasi adanya situs-situs adat.
"Sebenarnya sudah sejak 2018 masyarakat menyampaikan keberatannya kepada pemerintah kabupaten maupun provinsi. Namun tidak pernah direspons sama sekali. Pada intinya kami tidak menolak, tapi menginginkan dialihkan trasenya," ujar Ezi ketika dihubungi Bisnis di Padang, Selasa (17/1/2023).
Dia menjelaskan, ada satu contoh, kawasan pertanian yang dibelah oleh pembangunan jalan. Persoalan ke depannya, akan sulit petani untuk menjangkau lahan yang ada di sebelah jalan, karena yang namanya jalan tol, pasti tidak ada akses bagi petani menyeberang jalan.
Belum lagi soal pemukiman padat penduduk, dimana akan banyak rumah warga yang dirobohkan jika tetap dibangun jalan. Sehingga masyarakat menilai trase perlu dialihkan.
Baca Juga
"Kami meminta kepada Pemprov Sumbar, seharusnya diturunkan tim ke lapangan. Perhatikan betul, benar atau tidak apa yang kami sampaikan. Karena alasan kami menginginkan mengalihkan trase itu, punya alasan yang jelas," tegasnya.
Ezi menyampaikan dulu memang ada kunjungan dari DPRD Sumbar, Staf Ahli Gubernur dan tim, namun kunjungan tersebut hanya berlangsung 15 menit, sehingga tidak mendapatkan data yang detail.
"Kita juga tidak tahu laporan apa yang disampaikan ke gubernur. Apakah itu semacam seremoni entah apa, buktinya hasilnya tidak ada," tegasnya.
"Padahal kita menginginkan proses pembangunan tol di Sumbar berjalan lancar dan cepat, jadi jangan memperlambat proses ini dengan memaksakan di trase 1. Sebenarnya dimanapun trasenya apakah di trase 2 atau 3 yang penting jalan tol Padang - Pekanbaru jadi," sambungnya.
Ezi juga menyayangkan adanya pernyataan Pemprov Sumbar bahwa dari lima nagari/desa itu ada tiga desa yang diklaim telah berubah pikiran dan akhirnya menyetujui trase tersebut. Padahal tak satupun dari lima desa itu yang berubah pikiran, dan bahkan konsisten hingga saat ini menginginkan trase diubah.
Sementara Indra Mulyadi, Wali Nagari Taeh Baruah, mengatakan, sampai ini penolakan trase tol di 5 nagari itu sudah berlangsung sejak 2018 setelah dilakukan konsultasi publik oleh pihak penyelenggara di masing-masing nagari.
Respons masyarakat di lima nagari kemudian dituangkan dalam berita acara musyawarah nagari yang isinya menolak trase tol, karena akan melalui permukiman padat, situs-situs adat dan lahan produktif.
"Dari data kami miliki terdapat 539 titik rumah dan bangunan yang akan hilang dengan perkiraan hampir 2.000 jiwa yang akan terdampak langsung," ujarnya.
Tidak hanya itu diperkirakan 50 ulayat kaum pasukuan akan terdampak dan terancam hilang, serta bisa menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat adat di 5 nagari dengan hilangnya soko dan pusoko.
Sebelumnya, Tim Konsultan Japan International Cooperation Agency (JICA), Alex Mahdi, mengatakan, sehubungan adanya permasalahan pembebasan lahan untuk jalan tol di Sumbar, dia menyarankan ada baiknya Pemprov Sumbar melakukan sejumlah tahapan, sehingga realisasinya berjalan dengan baik.
"Jadi untuk persoalan lahan, JICA menyarankan harusnya dimulai dulu dari tahap perencanaan, tahap persiapan, dan tahap pelaksanaan, biar bisa diketahui apa saja kendala di lapangan," katanya belum lama ini pada rapat jalan tol di Padang.
Dia menyebutkan hal yang perlu diperhatikan agar pembebasan lahan tidak menimbulkan persoalan, sedapat mungkin harus menghindari pemukiman. Bila tidak dapat terelakkan harus diminimalkan.
Selain itu, kompensasi untuk orang yang terdampak harus diberikan kompensasi yang memadai, jangan sampai merugikan masyarakat yang terkena pembangunan jalan tol.
"Kompensasi tersebut harus diberikan sebelum proses relokasi. Masyarakat terdampak harus dilibatkan dalam setiap tahap pembebasan mulai dari awal perencanaan sampai proses penggantian lahan," ungkapnya.
Alex menyatakan hal yang demikian penting untuk jadi pertimbangan lingkungan dan sosial, untuk diterapkan pada saat pembebasan lahan ruas Jalan Tol Pangkalan - Payakumbuh.
"Jika ada masyarakat yang bertanya terkait nilai tanah, kami tidak bisa menjawab, yang bisa kita jawab hanyalah berdasarkan UU2/2012,UUCK 11/2020, PP19/2021 dan Permen ATR/BPN 19/2021," tutupnya.