Bisnis.com, PALEMBANG — Tingkat kemiskinan ekstrem Sumatra Selatan pada tahun 2022 meningkat di tengah upaya pemerintah pusat untuk mengentaskan angka kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen pada 2024.
Berdasarkan data yang disampaikan Ditjen Perbendaharaan Kantor Wilayah Sumatra Selatan (DJPb Kanwil Sumsel), yang bersumber dari Susenas Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan ekstrem provinsi itu mencapai 3,19 persen pada 2022.
Angka itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang senilai 3,14 persen. Sementara angka kemiskinan ekstrem rata-rata nasional sebesar 2,04 persen.
Kepala BPS Sumsel Zulkipli menjelaskan kenaikan itu terjadi lantaran ada penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan masih tertekan dengan kondisi pandemi.
"Pendapatan orang-orang yang berada di bawah itu ada tekanan, saat masa pandemi mereka belum bisa keluar dari area itu," jelasnya, Rabu (11/1/2023).
Zulkipli menerangkan sebetulnya angka kemiskinan Sumsel menunjukkan tren menurun, di mana pada periode Maret 2022 sebesar 11,90 persen.
Baca Juga
"Di dalam angka kemiskinan itu dikelompokkan lagi menjadi miskin biasa dan miskin ekstrem," katanya.
Dia menjelaskan penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem adalah pendapatannya sebesar US$1,9 purchasing power parity (PPP). Jika dihitung dengan mata uang rupiah, maka pendapatan penduduk miskin ekstrem itu setara dengan Rp22.000 per hari.
Menurut Zulkipli, penduduk miskin ekstrem itu berpeluang untuk keluar dari kategori itu jika ada pemerintah mendukung lewat program pengentasan kemiskinan.
"Bisa saja dia bertahan [di kemiskinan ekstrem] kalau tidak ada program yang massif, tetapi kalau ada program yang bagus, dia bisa keluar kok," katanya.
Sebelumnya, Kepala Kanwil DJPb Sumsel Lydia Kurniawati Christyana, mengatakan mengentaskan kemiskinan ini seperti anomali. Pasalnya, tercatat program perlindungan sosial yang dialokasikan cukup besar pada 2022. Seperti PKH mencapai Rp858,25 miliar. Lalu, sembako Rp1,15 triliun, BLT desa Rp2,56 triliun, BLT minyak goreng Rp 144,45 miliar, BLT BBM Rp1330,70 triliun, BSU Rp154,85 miliar.
“Sangat besar dana yang dialokasikan tapi kemiskinan ekstrim meningkat. Kalaupun turun angka kemiskinan turunnya sangat tipis. Artinya apa yang perlu dikaji ulang,” katanya.
Lydia menjelaskan, bantuan sosial yang ada memang meningkatkan pendapatan masyarakat tetapi tidak memberdayakan untuk membangun kemandirian ekonomi.
“Cukup peningkatan pendapatan tetapi tidak pemberdayaan masyarakat,” kata dia.