Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Fenomena Ekonomi Sumut Sejak Pandemi: Orang Miskin Lebih Banyak di Kota Ketimbang Desa

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin di Sumatra Utara kini cenderung lebih banyak di kawasan perkotaan. Padahal, dulunya penduduk miskin justru tercatat lebih banyak berada di perdesaan.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, MEDAN - Terjadi fenomena peralihan angka kemiskinan antara wilayah perkotaan dan perdesaan di Sumatra Utara kurun tiga tahun terakhir.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin di Sumatra Utara kini cenderung lebih banyak di kawasan perkotaan. Padahal, dulunya penduduk miskin justru tercatat lebih banyak berada di perdesaan.

"Ini ada yang menarik tentang persentase penduduk miskin antara perkotaan dan desa," ujar Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Sumatra Utara Azantaro, Minggu (6/2/2022).

Berdasar data yang diperoleh, persentase penduduk miskin di perkotaan hanya 8,56 persen pada periode Maret 2019 lalu. Sedangkan penduduk miskin di perdesaan lebih banyak, yakni 9,14 persen. Keadaan ini masih relatif sama pada periode September 2019. Jumlah penduduk miskin masih lebih banyak di desa ketimbang di kota.

Akan tetapi, grafis sebaran penduduk miskin mulai mengalami perubahan drastis pada periode Maret 2020, atau saat Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Selisih keduanya begitu tipis. Penduduk miskin di desa tercatat menurun hingga 8,77 persen. Sedangkan penduduk miskin di kota menjadi 8,73 persen.

Hingga akhirnya keadaan berbalik pada periode September 2020. Meski jumlahnya sama-sama naik, jumlah penduduk miskin di kota kini justru lebih banyak dibanding di desa. Berdasar data yang diperoleh, jumlah penduduk miskin di kota menjadi 9,25 persen. Sedangkan di desa menjadi 9,02 persen. 

Kecenderungan perbandingan itu terus berlanjut hingga periode September 2021 lalu. Penduduk miskin di kota tercatat sebanyak 8,68 persen. Sedangkan di desa lebih sedikit, yakni 8,26 persen.

Untuk daerah perkotaan, persentase penduduk miskin tercatat mengalami penurunan sebesar 0,47 poin jika dibandingkan Maret 2021. Sedangkan daerah pedesaan berkurang sebesar 0,58 poin.

"Ini berbalik. Kalau dulunya, pada Maret 2019, persentase penduduk miskin di kota itu biasanya lebih rendah dari persentase penduduk miskin di pedesaaan," kata Azantaro.

Persentase penduduk miskin di Sumatra Utara mengalami penurunan pada September 2021 bila dibanding Maret 2021. Definisi penduduk miskin adalah warga yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Pada Maret 2021, persentase penduduk miskin tercatat 9,01 persen. Sedangkan pada September 2021 menjadi 8,49 persen. Sehingga penurunannya mencapai 0,52 poin.

Dengan demikian, angka kemiskinan di Sumatra Utara setara dengan 1,27 juta jiwa pada September 2021, atau berkurang sekitar 70,8 ribu jiwa dalam satu semester terakhir.

"Sebenarnya juga turun dibandingkan September 2020 maupun kondisi Maret 2020. Bahkan sebenarnya kondisi September 2021 ini menjadi yang paling rendah dan juga masih bertahan di satu digit," ujar Azantaro.

Pada September 2021, garis kemiskinan di Sumatra Utara tercatat sebesar Rp537.310,00 per kapita per bulan. Jumlah itu terdiri atas komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp404.860,00 atau mendominasi 75,35 persen dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp132.451,00 atau 24,65 persen.

Garis kemiskinan adalah besaran jumlah rupiah yang ditetapkan sebagai suatu batas pengeluaran minimal untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang.

Selama ini, terdapat sejumlah komoditas makanan dan bukan makanan yang kerap jadi penyumbang utama garis kemiskinan di Sumatra Utara.

Baik di kota maupun pedesaan, beras menjadi komoditas yang memuncaki daftar penyumbang utama pada September 2021 lalu. Persentasenya mencapai 19,13 persen di perkotaan dan 27, 70 persen di pedesaan.

Di bawah beras, komoditas rokok kretek filter juga turut berperan besar terhadap garis kemiskinan. Persentasenya 11,51 persen di perkotaan, sedangkan di pedesaan sebesar 11,52 persen.

"Kalau diperinci lagi, yang pertama kalau di kota itu didominasi oleh beras hanya 19,13 persen, dan di desa 27, 70 persen. Ini akibat mungkin pilihan makanan di kota itu lebih banyak dibanding di pedesaan," ujar Azantaro.

Secara rinci, lima komoditas makanan penyumbang terbesar garis kemiskinan di perkotaan Sumatra Utara pada September 2021 lalu adalah beras sebesar 19,13 persen, kemudian rokok kretek filter sebesar 11,51 persen, telur ayam ras sebesar 4,28 persen, lalu ikan tongkol sebesar 3,36 persen dan cabai merah sebesar 3,03 persen.

Sedangkan untuk di pedesaan, komoditas makanan penyumbang terbesar garis kemiskinan terbesar adalah beras sebesar 27, 70 persen, rokok kretek filter sebesar 11,52 persen, ikan tongkol sebesar 3,42 persen, telur ayam ras sebesar 3,23 persen, dan cabai merah sebesar 2,61 persen.

Untuk komoditas bukan makanan, biaya perumahan masih jadi penyumbang terbesar garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan. 

Pada September 2021, biaya perumahan menyumbang garis kemiskinan sebesar 6,38 persen di perkotaan. Sedangkan kontribusinya di pedesaan sebesar 5,80 persen.

Selain biaya perumahan, komoditas bukan makanan penyumbang garis kemiskinan terbesar di Sumatra Utara adalah bensin sebesar 3,26 persen, lalu listrik sebesar 3,18 persen, kemudian biaya pendidikan sebesar 2,73 persen dan perlengkapan mandi sebesar 1,30 persen.

Sedangkan di pedesaan, empat komoditi bukan makanan lainnya adalah bensin sebesar 2,60 persen, lalu biaya pendidikan sebesar 2,08 persen, kemudian listrik sebesar 1,68 persen dan perlengkapan mandi sebesar 1,26 persen.

Berdasar catatan BPS, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kemiskinan di Sumatra Utara pada periode Maret-September 2021.

Faktor pertama adalah pandemi Covid-19 yang berkelanjutan. Hal ini sangat berdampak pada perubahan perilaku serta aktivitas ekonomi penduduk, sehingga mempengaruhi angka kemiskinan. Tetapi pada September 2021 mulai menunjukkan perbaikan.

Faktor kedua adalah pertumbuhan ekonomi Sumatra Utara. Perkonomian Sumatra Utara Triwulan III 2020 terhadap Triwulan IV 2021 mengalami pertumbuhan sebesar 3,67 persen (yoy).

Angka ini jauh meningkat dibanding capaian Triwulan III 2020 yang pertumbuhannya terkontraksi sebesar 2,6 persen (yoy).

Faktor ketiga adalah inflasi. Selama periode Maret-September 2021, angka inflasi umum tercatat sebesar 0,82 persen. 

Sedangkan faktor yang terakhir adalah catatan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada Triwulan III 2021 yang tumbuh sebesar 3,26 persen (yoy).

Sebelumnya, Deputi Kepala Bank Indonesia Sumatra Utara Ibrahim menjelaskan bahwa perkembangan indikator ekonomi Sumatra Utara pada Desember 2021 mengindikasikan akselerasi proses pemulihan.

Antara lain mobilitas masyarakat, penjualan eceran, dan keyakinan konsumen. Sehingga secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2021 diprakirakan tetap berada dalam kisaran 3,2-4,0 persen.

Adapun pertumbuhan ekonomi pada 2022 diprakirakan meningkat ke kisaran 4,7-5,5 persen. Prediksi ini sejalan dengan akselerasi vaksinasi, akselerasi konsumsi swasta dan investasi, dan tetap terjaganya belanja fiskal pemerintah dan ekspor.

"Meskipun kenaikan kasus Covid-19 varian Omicron berpotensi menghambat mobilitas, indikator terkini menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi, tercermin dari tetap tingginya harga komoditas utama, indeks keyakinan konsumen yang meningkat, dan perbaikan indeks penjualan riil," kata Ibrahim.

Optimisme ini, lanjut Ibrahim, juga berasal dari pelaku usaha hasil Liaison yang memperkirakan adanya peningkatan permintaan ekspor, permintaan domestik, maupun investasi.

Hal itu ditengarai berasal dari menguatnya harga komoditas utama di pasar internasional, kinerja ekspor-impor yang menguat, dan perbaikan PMI negara mitra dagang. Terutama Jepang, AS, dan India. 

"Pada keseluruhan tahun 2021, ekonomi Sumut diprakirakan akan terakselerasi dengan range pertumbuhan 2,5-3,3 persen," kata Ibrahim.

Di sisi lain, Sumatra Utara mengalami inflasi sebesar 1,03 persen pada Januari 2022. Perhitungan ini dilakukan terhadap lima kota Indeks Harga Konsumen (IHK). Yakni Kota Medan, Kota Sibolga, Kota Pematang Siantar, Kota Padang Sidempuan dan Kota Gunung Sitoli. 

Berdasar data BPS, Kota Sibolga mengalami inflasi sebesar 1,53 persen pada Januari 2022. Sedangkan Kota Pematang Siantar sebesar 0,96 persen, lalu Kota Medan sebesar 1,04 persen, Kota Padang Sidempuan sebesar 0,90 persen dan Kota Gunung Sitoli sebesar 0,93 persen. Gabungan lima kota itu menyebabkan Sumatra Utara mengalami inflasi 1,03 persen pada Januari 2022 lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper