Bisnis.com, PALEMBANG – Jatuh dan bangun dalam mengarungi bisnis kuliner telah dialami Pempek Candy selama 27 tahun terakhir. Namun, tak pernah terbayangkan oleh manajemen pempek legendaris itu bahwa pandemi Covid-19 dapat memukul telak bisnis keluarga tersebut.
Manajer Pempek Candy Yona Lius Vita mengatakan pihaknya telah menghadapi banyak tantangan selama puluhan tahun di sektor kuliner.
“Mulai dari modal yang minim hingga diterpa isu miring pernah kami hadapi. Namun, pandemi Covid-19 adalah yang paling berat, karena ini kan langsung berdampak ke penjualan,” katanya saat wawancara eksklusif virtual yang digelar ShopeePay baru-baru ini.
Yona mengatakan omset usaha pempek yang dirintis oleh dua ibu rumah tangga, Ahua dan Aheng pada 1994, tak pernah turun drastis hingga 70 persen.
Penurunan tersebut baru lah dirasakan pemilik bisnis saat badai pandemi tiba, di mana pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial, untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) dan berlanjut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat pelaku bisnis kuliner harus menutup rapat pintu restoran mereka. Jumlah tamu dibatasi bahkan sempat tak boleh melayani makan di tempat (dine in) demi memutus mata rantai Covid-19.
Padahal, penjualan pempek Candy sangat mengandalkan toko fisik. Bermula dari garasi rumah pemilik, kini jumlah gerai Candy mencapai 12 cabang dan tersebar di berbagai penjuru Kota Palembang.
“Toko fisik berkontribusi besar terhadap penjualan pempek Candy. Jadi terbayangkan bagaimana dampak pandemi untuk sektor kuliner,” katanya.
Belum lagi, kata Yona, penjualan untuk ke luar kota juga terkendala di pengiriman yang terbatas. Biasanya, pempek Candy dapat menjangkau kota-kota di seantero Pulau Jawa. Namun selama pandemi pengiriman terbatas hanya di daerah Jabodetabek dan Kota Surabaya.
Meski segala keterbatasan pada masa pandemi berdampak pada roda bisnis Candy, namun tak menyulutkan semangat pemilik usaha untuk bangkit dan melewatinya.
“Sampai hari ini pun tidak ada pengurangan karyawan. Walaupun agak berat karena kondisi penjualan turun lumayan signifikan,” katanya.
Cepat Adaptasi
Sama seperti pelaku bisnis kuliner lainnya, Candy pun menerapkan strategi untuk bertahan. Selain berkomitmen menjaga cita rasa dan inovasi tanpa henti pada menu, Candy juga cepat beradaptasi.
Meski bisa disebut pemain konvensional dalam usaha pempek, namun manajemen cepat beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satunya masuk dalam ekosistem digital.
Yona memaparkan Candy telah memanfaatkan media sosial sejak 2012 sebagai bagian dari penguatan branddan pemasaran. Seiring berjalannya waktu, Candy juga masuk ke marketplace dan memiliki toko online.
Menurut Yona, pandemi Covid-19 pun membuat Candy semakin akrab dengan ekosistem digital tersebut.
Adaptasi dalam lingkup digital itu, mulai dari pemesanan hingga pembayaran, ternyata menjadi penopang Candy sehingga tak terpuruk akibat pagebluk.
“Penjualan online sangat membantu bisnis kami saat pandemi, terlihat dari penjualannya naik 40% dibandingkan kondisi normal,” katanya.
Dia menambahkan begitu pula dengan transaksi pembayaran, di mana terjadi pergeseran metode dari tunai ke nontunai. Pembeli Candy banyak yang beradaptasi ke transaksi nontunai.
“Banyak orang yang saat ini gak mau pegang uang tunai, makanya kami beruntung cepat mengadopsi pembayaran digital,” ujarnya.
Yona menilai kemudahan ekosistem digital membantu bisnis Candy, sehingga memiliki nilai tambah bagi pelanggan serta layanan nirkontak yang sangat relevan terutama situasi saat ini.
Bahkan dengan adopsi teknologi dan ekosistem digital tersebut, ada keuntungan yang masuk lewat strategi penjualan secara daring.
Sementara itu, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sumatra Selatan (BI Sumsel) mencatat transaksi uang elektronik (UE) dan e-commerce meningkat.
Kepala Kantor Perwakilan BI Sumsel Hari Widodo mengatakan peningkatan itu didukung oleh adaptasi masyarakat akan kebutuhan instrumen pembayaran nontunai yang tetap aman untuk digunakan saat pandemi.
“Uang elektronik menjadi instrumen alternatif dalam bertransaksi dengan tetap menjalankan protokol kesehatan,” kata Hari dikutip dari Laporan Keuangan Sumsel Agustus 2021.
Bank sentral mencatat nominal transaksi UE mencapai Rp1,5 triliun per kuartal II/2021. Angka itu tumbuh13,92% secara year on year (yoy).
Adapun volume transaksi UE menunjukkan perbaikan meski masih terkontraksi 55,87% (yoy) atau berjumlah 16,89 juta transaksi.
Sejalan dengan itu, transaksi e-commerce tercatat tumbuh baik dari sisi nominal maupun frekuensi.
Hari memaparkan transaksi e-commerce di Sumsel senilai Rp1,78 triliun atau tumbuh 109,21 persen.
Begitu pula untuk frekuensi transaksi melalui e-commerce pada triwulan II/2021 sebanyak 19,99 juta transaksi atau tumbuh 159,78%.
“Peningkatan yang terjadi juga didukung oleh ekosistem pembayaran digital yang semakin baik,” katanya.