Bisnis.com, BATAM-Badan Pengusahaan (BP) Batam kembali menelurkan kebijakan baru dalam Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 11 tahun 2019.
Perka ini dibuat tidak lama setelah aturan sebelumnya, Perka Nomor 10 BP Batam yang diberlakukan pada pertengahan Mei 2019 lalu, menuai reaksi tidak setuju dari dunia usaha di Batam.
Perka Nomor 10 BP Batam ini dinilai tidak sejalan dengan semangat Bata sebagai kawasan perdagangan bebas.
Di mana sebanyak 1.500 jenis barang yang sebelumnya masuk dalam 2.500 masterlist barang yang mendapatkan insentif fiskal (pengurangan atau pembebasan pajak penghasilan badan, bea masuk, atau pajak pertambahan nilai), dalam aturan itu dihapuskan.
Akibatnya, sejumlah barang yang menjadi bahan pendukung industri di Batam mengalami kendala untuk masuk ke Batam. Sehingga gerak sejumlah industri di Batam pada prosesnya menjadi terganggu.
Hadirnya Perka Nomor 11 BP Batam yang mengembalikan masterlist barang yang mendapat insentif fiskal ke angka 2.500 item ini, menjadi angin segar bagi kalangan usaha. Khusunya para pengusaha lokal dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memang paling terdampak dari kebijakan dalam Perka Nomor 10 BP Batam ini.
Baca Juga
"Sesuai dengan namanya fasilitas bebas pajak diberikan terhadap aktivitas perdagangan di kawasan ini. Jadi sebaiknya jangan dibatasi dengan membuat aturan yang tidak sesuai dengan konsep FTZ," kata Ketua Apindo Kota Batam Rafki Rasyid.
Terbitnya Perka Nomor 11 yang mulai diberlakukan pada 21 Juni 2019 ini, disambut baik oleh kalangan usaha di Batam.
Apindo Kota Batam, kata Rafki, mengapresiasi kepada BP Batam yang cepat tanggap dengan permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha di Batam.
Aturan terbaru yang hanya hanya mencabut fasilitas pajak terhadap rokok dan mikol saja dinilai sudah tepat.
Meskipun demikian, pihaknya masih akan menunggu bagaimana realisasi dari Perka Nomor 11 ini nantinya.
Salah satu tujuan dari FTZ, tutur Rafki, sejatinya untuk menghidupkan usaha pendukung yang dikembangkan oleh Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) dan berkembangnya UKM.
"Kalau mereka kemudian dipukul dengan penerapan pajak terhadap barang dagangannya ke industri, ini tentu tidak adil. Sementara industri yang kebanyakan adalah PMA mendapatkan fasilitas bebas pajak," kata Rafki lagi.
Lebih jauh, Rafki mengatakan, jangan sampai Batam menjadi semakin tidak menarik di mata investor akibat adanya berbagai pungutan pajak tambahan yang menyasar barang penolong dan bahan pendukung produksi ini. Sebaliknya Apindo meminta agar Batam diberikan insentif tambahan, agar mampu bangkit dari perlambatan ekonomi yang masih terjadi saat ini.
Terkait dengan posisi Perka Nomor 11 tahun 2019 ini sebagai aturan sementara, menunggu proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas ini selesai, Apindo berharap kelancaran berusaha di Batam tetap bisa berjalan baik. Demikian juga, jika nantinya PP No. 10 tahun 2019 ini kemudian diberlakukan.
PP No. 10 Tahun 2012 ini, kata Rafki, selagi dasarnya adalah UU FTZ Batam, maka tentunya tidak akan terlalu banyak perubahan. Semangat dari UU FTZ ini, memberikan fasilitas kepada Batam agar investasi di Batam berkembang. Akhirnya akan menimbulkan multplier effect hingga menyentuh investor lokal untuk berkembang.
"Saya yakin fasilitas bebas pajak akan tetap diberikan terhadap barang konsumsi dan pendukung produksi yang ada di Batam. Kecuali untuk rokok dan mikol yang memang cukup merugikan keuangan negara sebab bocor ke daerah lain di Indonesia,"
"Kita juga sudah sepakat jika rokok dan mikol itu sebaiknya tidak diberikan fasilitas bebas pajak. Karena tidak terlalu berkaitan dengan aspek produksi di kawasan FTZ," tutur Rafki lagi.