Bisnis.com, PADANG - Pengamat ekonomi dan juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas, Prof. Syafruddin Karimi berpendapat perjanjian dagang antara Amerika Serikat dengan Indonesia berpotensi merusak stabilitas ekonomi nasional dan pemerintah diminta mengevaluasi ulang kesepakatan dagang tersebut.
Dia menyebutkan pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah strategis untuk melindungi pondasi ekonomi dari guncangan eksternal yang bisa melemahkan daya saing industri dalam negeri.
“Kita perlu memperkuat sektor-sektor strategis seperti pertanian, energi, dan UMKM manufaktur melalui insentif fiskal, subsidi input, dan instrumen perlindungan yang sah secara global,” katanya, Rabu (16/7/2025).
Ketimpangan yang dimaksud, Syafruddin melihat di saat yang sama Indonesia juga harus agresif memperluas pasar ekspor ke kawasan non-tradisional seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, agar tidak terus bergantung pada AS.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal dan moneter juga harus berpadu dalam menjaga stabilitas rupiah, menekan inflasi impor, dan menopang daya beli masyarakat. Begitu pun pemerintah dan Bank Indonesia tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus menyatukan arah kebijakan secara presisi.
Tak kalah penting, Indonesia harus mengevaluasi ulang kesepakatan dagang yang timpang ini dan, jika perlu, membuka ruang untuk renegosiasi demi menjamin prinsip resiprositas yang adil.
Baca Juga
“Kita juga perlu memperkuat diplomasi ekonomi regional melalui ASEAN dan Global South, agar tidak terus menjadi korban unilateralisme negara besar. Inilah saatnya Indonesia mengambil posisi tegas, bukan sebagai pasar pasif, tetapi sebagai kekuatan ekonomi yang berdaulat dan visioner dalam menghadapi arus global yang kian penuh tekanan,” sebutnya.
Menurutnya, kesepakatan dagang yang memberikan akses pasar bebas tarif bagi produk AS, sementara ekspor Indonesia tetap dikenakan tarif 19%, mengandung risiko ketimpangan struktural yang dalam jangka menengah bisa memperlemah fondasi fiskal nasional.
Impor besar dari AS terutama dalam bentuk energi, produk pertanian, dan pesawat Boeing dengan nilai mencapai lebih dari US$19 miliar merupakan angka signifikan yang berpotensi memperluas defisit perdagangan bilateral.
“Jika tren ini berlanjut, devisa negara akan tergerus, dan kontribusi ekspor terhadap PDB serta pajak ekspor terhadap penerimaan negara akan stagnan atau bahkan menurun,” ungkapnya.
Di sisi lain, kenaikan impor berisiko menurunkan tarif bea masuk, karena makin banyak produk masuk dengan preferensi tarif nol. Pemerintah bisa mengalami tekanan dari dua sisi, turunnya pendapatan negara dari sektor perdagangan dan meningkatnya beban subsidi atau belanja kompensasi untuk meredam dampak sosial akibat banjir produk asing.
Dalam jangka panjang, ketimpangan ini dapat mempersempit ruang fiskal untuk program prioritas nasional dan menciptakan ketergantungan ekonomi yang tidak sehat pada struktur perdagangan yang timpang.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera meninjau ulang skema perdagangannya, memperkuat resiprositas, dan menegosiasikan kembali poin-poin strategis demi menjaga keberlanjutan fiskal dan kedaulatan ekonomi nasional.
“Hal yang perlu ditanyakan ke pemerinta Indonesia, mengapa Indonesia tidak menawarkan skema zero–zero yaitu sama-sama menghapus tarif dalam kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat?” ucap dia.
Menurutnya pertanyaan tersebut sangat relevan diajukan dan membuka ruang kritik terhadap strategi diplomasi ekonomi pemerintah. Dimana untuk skema zero–zero secara prinsip mencerminkan kesetaraan dan timbal balik dalam hubungan dagang, dan menjadi standar umum dalam negosiasi bebas tarif modern.
“Ketidakhadiran prinsip ini dalam kesepakatan Indonesia–AS tahun 2025 menandakan bahwa posisi Indonesia dalam perundingan tidak cukup kuat atau tidak digunakan secara maksimal,” tutupnya.