Bisnis.com, PEKANBARU -- Bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang memicu kabut asap di Tanah Air, telah menimbulkan kerugian dan dirasakan oleh semua pihak. Namun kerugian terbesar disebut diderita oleh kelompok rumah tangga.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Riau Sudiro Pambudi mengungkapkan serangkaian informasi yang menggambarkan dampak serius dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Menurutnya, karhutla seringkali terlambat ditangani, yang menyebabkan dampak besar, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
"Pertama-tama, faktanya sebagian besar penyebab karhutla adalah ulah manusia, meskipun faktor alam seperti El Niño dan musim kemarau berperan sebagai katalis. Aktivitas manusia, seperti penebangan hutan dan pembukaan lahan, merupakan faktor penentu yang dipicu oleh katalis alam tersebut," ujarnya, Kamis (12/10/2023).
Dia menyebutkan pada kasus lahan yang terbakar, terutama lahan gambut seperti yang ada di Riau, musim kemarau yang panjang dan kurangnya hujan membuat hutan dan lahan sangat rentan terbakar, bahkan oleh api kecil, dan seringkali sulit untuk dipadamkan. Gambut yang basah justru memicu banyaknya asap yang dihasilkan.
Sudiro menyebutkan dampak kerugian ekonomi akibat karhutla ini telah diteliti sebelumnya. Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia pada 2006 telah menggunakan metode sistem neraca sosial ekonomi, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur dampak sosial ekonomi karhutla.
Hasilnya, kerugian terbesar akibat kabut asap itu dirasakan oleh kelompok rumah tangga, sekitar 59 persen dari kerugian keseluruhan.
Baca Juga
Lalu kelompok pemerintah terdampak 15 persen kerugian, sementara sisanya, yaitu 26 persen, dirasakan oleh perusahaan atau private sector. Ini menjadikan rumah tangga atau masyarakat luas sebagai kelompok yang paling dirugikan oleh kabut asap.
"Dari segi sektor keuangan, penelitian ini mengungkapkan bahwa kerugian ekonomi karhutla untuk setiap hektare lahan hutan adalah sekitar Rp34,28 juta, itu nilai pada tahun 2006. Dengan melihat seberapa luas lahan yang terbakar selama karhutla misalnya pada 2019 lalu, maka angka kerugian sebesar Rp75 triliun itu make sense," ujarnya.
Dia menambahkan kerugian ekonomi tidak hanya melibatkan sektor keuangan, melainkan juga dampak lingkungan, seperti hilangnya kayu dan hasil hutan, serta gangguan terhadap sumber daya genetik, potensi pariwisata, dan fungsi ekologi.
Dampaknya juga merambah sektor rumah tangga, pemerintah, dan perusahaan, dengan kerugian mencapai Rp77,44 juta, dengan hitungan pada periode 2006 silam, dan tentunya saat ini angka kerugian itu bisa jauh lebih besar.
Dengan risiko serta dampak terbesar akibat karhutla adalah dialami oleh rumah tangga atau masyarakat luas, terutama mereka yang tinggal di perkotaan, pihaknya menilai hal ini merupakan masalah serius yang telah berulang kali terjadi selama bertahun-tahun, dan upaya penanganan karhutla, seperti penggunaan water bombing dan teknologi modifikasi cuaca (TMC) misalnya, juga memerlukan biaya besar, yang dapat mencapai Rp200 juta untuk sekali terbang.