Bisnis.com, MEDAN - Pelaku usaha di industri karet Sumatra Utara mengeluhkan adanya pabrik yang berani membeli karet dengan harga tinggi, sehingga menguasai pembelian dan menyebabkan pabrik lain tidak memperoleh pasokan.
Keluhan ini terlontar dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil 1 dan Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) di Medan, Senin (25/09) kemarin.
Pelaku usaha khawatir hal tersebut dapat memicu semakin banyak pabrik pengolahan karet yang tutup. Sejak 2016, tercatat sudah 9 pabrik tutup di Sumut.
Menanggapi hal tersebut Kepala KPPU Kanwil I, Ridho Pamungkas mengatakan, situasi yang terjadi di lapangan saat ini belum dapat disimpulkan sebagai persaingan usaha tidak sehat.
Diterangkan Ridho, perusahaan dengan kapasitas produksi yang besar akan semakin efisien dan produktif, sehingga mereka dapat membeli karet dengan harga yang lebih tinggi dibanding pesaingnya, namun dapat menjual karet olahan dengan harga yang kompetitif.
”Yang dilarang adalah perusahan besar tersebut melakukan praktik predatory pricing, yakni sengaja membeli Bokar (bahan olah karet) di harga tinggi dalam rangka untuk menyingkirkan pesaingnya. Untuk itu harus dikaji kemampuan modal perusahaan untuk melakukan predatory pricing, kapasitas produksi untuk menguasai pembelian dan perhitungan biaya produksinya,” ujarnya.
Baca Juga
Ridho mengingatkan, kendati terjadi 'perang harga', asosiasi dilarang untuk mengintervensi pasar dengan membuat kesepakatan harga di dalam asosiasi tersebut.
“Kewenangan menetapkan harga pembelian ada di pemerintah, bukan pelaku usaha. Namun pemerintah juga harus berhati-hati, jangan nanti membuat kebijakan untuk melindungi pabrik yang tidak efisien dan menghambat perkembangan teknologi. Dukungan pemerintah sebaiknya untuk mendorong produktivitas perkebunan karet atau bantuan permodalan bagi usaha kecil menengah, bukan mengatur harga pasar,” lanjutnya.
Sebagaimana tertulis dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.com pada Selasa sore (26/09/2023), saat ini kapasitas terpasang pabrik pengolahan karet alam di Sumut tidak didukung oleh ketersediaan bahan olah karet (Bokar) yang cukup dari Sumatra Utara.
Selain itu, jumlah Bokar yang dapat dipasok dari perkebunan di Sumatra Utara juga semakin berkurang, sehingga berimbas pada naiknya harga pembelian lokal yang dipicu kompetisi dalam mendapatkan pasokan.
Kepala KPPU kanwil I memberikan contoh kasus regulasi terkait pengolahan dan pemasaran Bokar di Provinsi Jambi, di mana KPPU memberikan saran kepada pemerintah Jambi untuk tidak memberikan kewenangan kepada asosiasi dalam menentukan harga indikasi karet.
”Penyampaian harga indikasi Bokar oleh Gapkindo dapat memfasilitasi kesepakatan harga pembelian Bokar oleh pabrik pengolahan karet. Sementara masing-masing pabrik pengolahan karet memiliki kendala biaya yang berbeda," terang Ridho.
Ia juga menambahkan, masukan informasi harga dari satu pihak, misalnya hanya melalui asosiasi, tidak akan menghasilkan harga yang adil dan proposional untuk pihak lain, salah satunya petani penghasil karet.
KPPU Kanwil I pun terus berupaya mengawasi iklim kompetisi dalam usaha pengolahan karet ini agar tetap berjalan sehat, sesuai amanah Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (K68)
Foto bersama KPPU Kanwil I dan Gabungan Asosiasi Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Cabang Sumut usai FGD bertema "Menjalankan Praktik Usaha Bisnis yang Sehat dalam Industri Karet" di Medan, Senin (25/09/2023)./Ist