Bisnis.com, MEDAN - Dalam 2 tahun terakhir, pandemi Covid 19 berhasil membelenggu tak hanya aktivitas masyarakat di luar ruangan tetapi juga pergerakan ekonomi seluruh dunia, khususnya Indonesia.
Secara resmi Presiden Joko Widodo telah mengakhiri Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir 2022 lalu. Lantas, akankah perekonomian kembali pada kondisi seperti saat era pra pandemi? Bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya Sumatra Utara (Sumut)?
Sedikit mengulas, Provinsi Sumut yang merupakan salah satu daerah penghasil komoditas Crude Palm Oil (CPO) terbesar di Indonesia sempat mengalami penurunan tingkat ekspor akibat dampak kelangkaan minyak goreng. Demi memenuhi kebutuhan daerah, Pemerintah Provinsi Sumut pun berlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Pengamat Ekonomi Sumut Gunawan Benjamin menilai kebijakan tersebut tidak efektif mendongkrak perekonomian Sumut sehingga dari laju pertumbuhan ekonomi yang semula diprediksikannya naik sebesar 7 persen di semester I tahun 2022, namun angka yang terealisasi hanya sekitar 4 persen. Belum lagi pada semester 2, tren harga CPO kemudian mengalami penurunan, sehingga hal tersebut juga menyumbang dampak negatif ke perekonomian Sumut di tahun 2022.
"Kenapa kebijakan itu muncul? Ada kisruh harga minyak goreng sebelumnya. Sehingga ada kebijakan DMO dan DPO yg membuat ekspor mengalami perlambatan yang akhirnya memicu melambatnya pertumbuhan ekonomi di Sumut," ujar Gunawan kepada Bisnis, Kamis (12/1/2023).
Gunawan menyebut perputaran roda perekonomian di Sumut memang sangat dipengaruhi oleh pergerakan komoditas kelapa sawit mulai dari hulu ke hilir yang berdasarkan taksirannya mencapai 60 hingga 65 persen.
"Jadi mulai dari petaninya, perusahaan sawitnya, terus di ekspor jadi barang, dan uangnya diputar lagi untuk konsumsi masyarakat. Jadi wajar kalau ada gangguan pada komoditas tersebut, perlambatannya cukup signifikan terjadi di Sumut," sambungnya.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Sumut mengalami inflasi sebesar 6,12 persen year on year (yoy) di tahun 2022 lalu. Sedangkan angka month to month (mtm) per Desember 2022 mencapai 1,50 persen.
"Inflasi yang terjadi di 2022 itu bukan menggambarkan daya beli yang membaik, bukan. Tapi karena ada kenaikan harga. Dari kenaikan harga pangan, kenaikan bahan baku industri, kenaikan harga energi yang terealisasi dengan kenaikan harga BBM. Jadi bukan karena ada faktor demand. Demand push inflation, bukan karena itu. Tapi karena cost push inflationnya itu naik, gitu loh. Sehingga inflasi tinggi. Nah tahun ini inflasi (diperkirakan) masih tinggi," lanjut Gunawan.
Jika kita menilik dari tingginya harga pangan, selain disebabkan curah hujan yang sempat tinggi di Sumut saat penghujung tahun lalu hingga berakibat pada banyaknya gagal panen pada sejumlah komoditas, perlu diketahui pula bahwa kelangkaan pupuk pun juga punya perannya sendiri. Ini merupakan imbas terbatasnya alokasi pupuk subsidi dari Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 10 tahun 2022.
Menurut Gunawan, hal tersebut juga berpotensi besar meningkatkan laju inflasi di tahun 2023. Karena dari sisi basisnya, ekonomi Sumut mayoritas didorong oleh komoditas pertanian dan perkebunan.
"Kita bicara pertanian, petani akan menjerit disini. Pupuk non subsidi mahal. Ini akan mendorong mereka untuk harus mendapat pendapatan yang lebih, sehingga mereka berharap ada kenaikan pada harga jual komoditas yang mereka hasilkan," jelas Gunawan lagi.
Di tahun 2023, Gunawan menyebut ada beberapa hal yang menurutnya menjadi tantangan perekonomian di Sumut, yang pada dasarnya masih merupakan bagian dari tantangan di tahun sebelumnya.
Dari sisi permintaan CPO sebagai bahan biodiesel misalnya. Meski diyakini akan mengalami peningkatan, sehingga besar kemungkinannya bisa menjaga supaya harga CPO tidak merosot. Ia juga memproyeksikan akan ada penurunan harga CPO di semester 1 tahun ini nantinya.
Tak sampai di situ, kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Sentral sejak tahun 2022 juga akan berlangsung hingga 2023. Dan tentu hal ini juga turut berkontribusi dalam melemahnya kondisi pertumbuhan ekonomi daerah. Bagaimana tidak? Gunawan mengatakan dari hasil observasinya dilapangan, ada banyak industri di Sumut yang merumahkan karyawan kontrak sebagai upaya efisiensi.
Jadi, lanjut Gunawan, perusahaan yang menggantungkan permodalannya dari dana bank akan mengalami beban tambahan dari bunga bank yang harus mereka bayarkan. Ditambah lagi dengan kinerja perusahaan yang terganggu akibat ancaman resesi global yang berakibat pada menurunnya ekspor, serta perlambatan ekonomi yang sudah terlihat dari penurunan dari daya beli masyarakat.
"Yang paling kita harapkan itu anggaran realisasi belanja pemerintah itu bisa dieksplorassi lebih cepat. Ini kan selama ini kalau engga kuartal 3, kuartal 4 baru jor-joran untuk mengeksekusi anggaran yang ditetapkan. Kalau bisa di 2023 ini, di kuartal 2 sudah dilakukan. Karena itu yang bisa mendorong konsumsi belanja masyarakat sehingga ekonomi itu multiplier efeknya dari realisasi anggaran yang lebih cepat itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang relatif terjaga. Sehingga tidak mengalami penurunan yang lebih tajam," imbuh Gunawan.
Akan tetapi, sebelumnya pemerintah harus tahu lebih dulu kearah mana fokus pemecahan masalahnya. Jika fokusnya adalah menjaga daya beli dengan menekan inflasi, imbuh Gunawan, berarti harus membuka ruang subsidi yang lebih besar untuk penurunan biaya input produksi.
"Khususnya biaya produksi di sektor pertanian untuk penyediaan bahan pangan di Sumut. Nah, apakah dengan anggaran tersebut sekarang dengan menekan biaya. Kalau kita kan di tahun 2021, 2022 ini kan ada burden sharing tuh antara Bank Indonesia dengan pemerintah. Nah sekarang kan ada undang-undang PPSK tuh. Seharusnya dengan undang-undang itu sebenarnya pemerintah masih punya ruang untuk mengalokasikan anggaran yang lebih untuk menyelamatkan daya beli masyarakat itu tadi. Salah satunya itu, bantalan sosial. Bentuknya boleh apa aja," sebut Gunawan.
Namun, jika bicara terang-terangan, Gunawan berpendapat bahwa ada 1 cara yang substansial yang bisa menyelamatkan perekonomian Sumut, termasuk juga menyelamatkan dari adanya ancaman resesi. Yakni adalah dengan menarik uang dari hasil ekspor Sumut yang parkir di negara lain khususnya di Singapura.
"Itu kalau bisa dilakukan, ini bisa menambah likuiditas valas di pasar dalam negeri sehingga kita bisa lebih agresif lagi dalam memulihkan kebijakan fiskal. Yang sejauh ini fiskal ini kan dijadikan anggaran untuk mendorong, menjaga daya beli masyarakat. Tapi kalau seandainya pemerintah terus menaikkan suku bunga, ini kan destruktif di sisi yang lain," pungkas Gunawan.