Bisnis.com, PADANG - Petani dan pengepul gambir mendesak Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi membantu carikan solusi atas anjloknya harga gambir sekaligus memberikan masukan kepada Pemprov Sumbar.
Ketua Pengumpul dan Petani Gambir Sumbar Sepdi Tito mengatakan bukan kualitas gambir yang menjadi penyebab anjloknya harga, tapi ada sejumlah persoalan.
"Kalau sekarang itu anjloknya harga bukan soal kualitas sebenarnya. Tapi ada perbedaan skema pasar. Dulu yang di ekspor itu gambir nya, kalau sekarang cukup ekspor kandungan katekinnya saja," katanya ketika dihubungi Bisnis di Padang, Rabu (9/3/2022).
Dia menjelaskan dua skema ekspor gambir itu secara bisnis memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai beli terhadap petani. Kalau yang diekspor itu dalam bentuk gambir utuh yang diproduksi oleh petani, soal harga bisa dikondisikan, karena yang dibeli dalam bentuk gambirnya.
Namun sekarang itu kondisi yang terjadi di lapangan adalah eksportir India hanya kirim katekinnya (kandungan gambir), sehingga sulit untuk bicara menaikan harganya.
"Kalau berapa acuan harga terhadap nilai jual katekinnya ini, ya eksportir India itu punya nilai ukur, petani tidak bisa berbuat banyak. Nah di sini pemerintah harus masuk membantu, karena ada persoalan di sana," tegasnya.
Tito menyebutkan persoalan bisa nya eksportir di Sumbar untuk mengekpor gambir dalam bentuk katekinnya itu, karena para ekspotir ini telah mendirikan pabrik.
Setidaknya ada sekitar 4 pabrik gambir yang beroperasi di Sumbar ini. Keberadaan pabrik itu yang menjadi kunci anjloknya harga gambir di Sumbar ini.
"Jadi dengan adanya pabrik gambir itu, para eksportir bisa mengirit biaya ekspor mereka. Karena yang dikirim ke India itu, yang intinya atau kandungan gambirnya saja," jelasnya.
Dengan demikian gambir yang dibeli di tingkat petani ditekan, berdasarkan nilai katekin yang terdapat dalam gambir petani itu saja, bukan gambir secara utuh.
Misalnya masuk gambir dari Kabupaten Limapuluh Kota ke salah satu eksportir, dari gambir yang masuk itu dilakukan uji kualitas terlebih dahulu.
Bila dari hasil uji kualitas itu mendapatkan katekinnya cuma 40 persen, maka harganya anjlok, palingan di kisaran Rp28.000 hingga Rp30.000 per kilogramnya.
Artinya 60 persen gambir yang tidak terpakai itu dibuang, karena tidak ada katekin nya.
"Jadi begitulah peran pabrik gambir saat ini di Sumbar. Kondisi seperti itu sangat tidak baik. Karena petani selama ini yang tahu produksi gambir, dan menjual gambir itu berdasarkan berat secara utuh, bukan mempertimbangkan kandungan katekinnya," ucap dia.
Menurut Tito akibat adanya peran pabrik gambir di Sumbar itu, eksportir di Sumbar telah memberikan dampak yang buruk terhadap pabrik gambir di India.
Karena selama ini eksportir gambir kirim barang secara utuh, bukan katekin. Setiba di India, barulah pabrik di sana yang mengambil kandungan katekin nya.
"Tapi hal itu dinilai cukup merugikan bagi eksportir di Sumbar secara bisnis. Karena dikenai pajak, bea cukai, dan yang lainnya. Karena setiba di India, tidak semua bahan yang terpakai, yang diambil di India cuma katekinnya," ungkap dia.
"Karena adanya pabrik gambir solvent atau pabrik pemurnian yang dibuat oleh orang India di Sumbar, sehingga pabrik pemurnian di India tidak bisa bersaing dengan pabrik yang ada di Sumbar, karena perbedaan harganya bisa Rp250-300 juta rupiah per kontainer," sambung Tito.
Dulu, penyaringan pabrik pemurnian gambir berada di negara eksportir India, makanya harganya cenderung naik dan turun tergantung kebutuhan pasar di India.
Dulu skema distribusi gambir ini petani jual ke pengepul, pengumpul jual ke eksportir, eksportir jual ke importir, importir jual ke pabrik pemurnian, pabrik pemurnian kemudian menjual ke industri barang jadi/Pan Masala.
Sekarang, skemanya terputus di bagian tengah, dimana petani jual ke pengepul, pengumpul jual ke pabrik pemurnian/eksportir, kemudian eksportir langsung ke pabrik Pan Masala.
"Masalahnya disini, pabrik pemurnian ini dimiliki oleh eksportir India di Sumbar, kemudian mereka pula sekaligus menjadi importir di India dengan owner yang sama. Artinya kalau dibuat pabrik penyaringan di daerah, kerugian pasti dialami oleh petani gambir," kata Tito.
Kini dampak dari hitung-hitungan yang demikian, petani yang merasakan dampaknya. Petani tidak bisa menikmati hasil panen yang menggembirakan, sehingga munculah upaya petani untuk mencampur gambir dengan bahan seperti pupuk, tanah, dan pasir itu.
"Petani merasa, gambir mereka tidak dihargai dengan nilai yang layak. Bagaimana cara berat atau bobot naik, ya ditambahkan lagi dengan bahan-bahan itu," jelasnya.
Tapi persoalan adanya gambir dicampur pupuk itu, sebenarnya bukan hal yang buruk. Karena di India itu butuh gambir yang memiliki warna merah, setidaknya dari belasan ton ekspor gambir Sumbar per tahunnya ini, 30 persennya India butuh gambir berwarna merah itu.
Untuk mendapatkan gambir berwarna merah itu, saat proses mengekstrak gambirnya itu harus dicampur pupuk. Artinya gambir campur pupuk itu tidak serta merta dianggap buruk, karena India butuh kualitas gambir yang demikian.
"Kebutuhannya 30 persen dari total ekspor. Sedikit cuma," tegasnya.
Untuk itu, Tito menyatakan persoalan anjloknya harga gambir di Sumbar bukan soal kualitas secara utuh, tapi yang dibeli di sini adalah kandungan gambirnya yakni katekinnya.
Cara untuk menyelamatkan harga gambir itu, pertama pemerintah harus mengambil alih pasar ekspor katekin gambir itu, seperti melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Hal kedua, pemerintah perlu tegas untuk menutup seluruh pabrik gambir yang saat ini beroperasi di wilayah Sumbar. Dengan demikian, kondisi ekspor gambir di Sumbar bisa kembali ke sisi awal.
"Ya kembali lagi eksportir itu beli gambir secara utuh, ya berat per kilogram gambir itu, bukan bicara kandungan katekin lagi. Ini akan dapat menyelamatkan petani, dan harga pun bisa membaik," sebutnya.
Selain itu, Tito pun berharap, persoalan ini perlu dibicarakan bersama, duduk bersama, antara petani aktif, pengepul aktif.
"Jadi saya rasa, hal ini perlu dibicarakan bersama pemerintah. Yang diundang rapat itu petani yang aktif, pengepul yang aktif, eksportir yang aktif. Bukan yang mengaku petani saja, tapi tidak bertani gambir lagi," ujarnya.
Dikatakannya permintaan petani dan pengepul ini dilatar belakangi karena pertemuan baru-baru ini dengan pemerintah daerah belum menemui sasaran, dan belum menemukan secara detail inti dari persoalan gambir di Sumbar.
"Kondisi penjualan gambir yang tak kunjung selesai dari awal ini sudah berlarut, karena sistem pemasarannya yang bermasalah," ujar Tito.
Dijelaskannya, sebenarnya persoalan gambir yang paling utama bukan kualitasnya, tapi jumlah supply atau kuantitas dari gambir yang dikirim ke negara pembeli seperti India.
"Kondisi gambir malah lebih parah 4 tahun kebelakang. Dulu produksi sedikit harga naik, dengan murni market India. Sekarang produksi sedikit harganya tidak naik, karena sudah ada pabrik pemurniannya di Sumatera Barat," ujar Putra asli Nagari Maek itu.
Tito juga menyampaikan tuntutan para petani untuk bertemu dan menjelaskan persoalan ini kepada gubernur secara bersama ini harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam waktu cepat.
"Kami ingin menghindari sistem kapitalisme terhadap petani gambir yang selama ini mencekik mereka," tutup Tito.
Sementara itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar Syafrizal mengatakan saat ini pemerintah tengah konsen untuk menyelamatkan harga komoditas gambir yang anjlok selama 4 tahun ini.
"Kita telah melakukan pertemuan dengan eksportir, asosiasi petani gambir, dan Kadin juga. Hasilnya ada kesempatan soal meningkatkan kualitas dan menaikan harga beli ke petani," ujarnya dihubungi terpisah.
Terkait adanya keinginan dari petani dan pengepul untuk rapat bersama pemerintah, pria yang akrab disapa Jejeng ini mengatakan mengakomodir hal tersebut.
"Kita memang ini persoalan ini selesai, sehingga ekonomi petani gambir bisa kembali membaik," katanya.
Dikatakannya keseriusan pemerintah daerah untuk menyelamatkan petani gambir ini, karena komoditas gambir di Sumbar ini menjadi komoditas ekspor terbesar di Indonesia. Sekitar 85 persen ekspor gambir di Indonesia ini datang dari Sumbar.
Produksi gambir di Sumbar per tahunnya itu sekitar 17.000 ton. Daerah yang menjadi produksi terbesar gambir berada di Kabupaten Limapuluh Kota.
Menurutnya saat ini luas tanam komoditas gambir di Sumbar totalnya 29.400 hektare.
Daerah terluas perkebunan gambir di Sumbar itu, berada di Kabupaten Limapuluh Kota dengan luas tanam 18.000 hektare, selanjutnya di Kabupaten Pesisir Selatan 10.000 hektare, disusul oleh Kabupaten Agam 1.000 hektare dan Kabupaten Pasaman Barat 400 hektare. (k56)