Bisnis.com, PADANG - Dulunya, di Provinsi Sumatra Barat, menjadi petani gambir seakan mengutip emas di lereng perbukitan. Hanya butuh dua pekan lamanya untuk mengantongi uang puluhan juta.
Petani pun rela meninggalkan hamparan sawah dan bahkan menjual perkebunan lainnya untuk bisa menjadi petani gambir. Hal itu dikarenakan harga gambir bisa mencapai Rp100.000 per kilogramnya.
Waktu pun berlalu, para petani di berbagai daerah di Sumbar pun mendapat kabar soal komoditas gambir itu. Sehingga luas lahan perkebunan gambir pun begitu cepat bertambah.
Dari dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar menyebutkan saat ini luas tanam komoditas gambir di Sumbar totalnya 29.400 hektare.
Daerah terluas perkebunan gambir di Sumbar itu, berada di Kabupaten Limapuluh Kota dengan luas tanam 18.000 hektare, selanjutnya di Kabupaten Pesisir Selatan 10.000 hektare, disusul oleh Kabupaten Agam 1.000 hektare dan Kabupaten Pasaman Barat 400 hektare.
Dari luas lahan itu, Pemprov memperkirakan produksi gambir di Sumbar bisa mencapai 17.000 ton lebih per tahunnya.
Tapi dengan begitu besarnya produksi gambir serta semakin luasnya lahan, membawa dampak buruk kepada harga. Karena dinilai pasokan melimpah dan membuat eksportir dengan mudah menentukan harga.
Penyebab Harga Anjlok
Bisnis Indonesia diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan salah satu eksportir yang berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar yakni PT Rajdular Brothers, mereka adalah eksportir India, dan memilih untuk menjadi pendudukan Indonesia.
Berbicara soal komoditas gambir di Sumbar, Adm Manager PT Rajdular Brothers Muhammad Ikhsan, memiliki banyak catatan soal perubahan harga gambir dari masa ke masa.
Dia menjelaskan perubahan harga pembelian gambir bisa terlihat pada bulan Januari tahun 2019 hingga November 2021 yang fluktuatif. Harga pembelian rata-rata terendah berada di bulan April 2020 yaitu di angka Rp21.066, sedangkan harga pembelian rata-rata tertinggi ada di bulan Februari 2021 yaitu di angka Rp50.332.
Seperti halnya harga pembelian, harga penjualan gambir dari bulan Januari tahun 2019 hingga November 2021 juga sangat fluktuatif. Harga penjualan rata-rata terendah berada di bulan Februari 2020 yaitu di angka Rp30.990, sedangkan harga penjualan rata-rata tertinggi ada di bulan Oktober 2021 yaitu di angka Rp55.730.
"Jadi untuk fluktuasi harga pembelian maupun penjualan gambir dipengaruhi oleh beberapa faktor. Apakah kualitas memenuhi standar ekspor atau tidak, dan faktor lainnya adanya pengaruhi pasar, mengingat 85% market berada di India," katanya, Minggu (6/2/2022).
Menurutnya untuk kualitas standar ekspor memiliki kadar kemurnian yang bagus dan tidak ada campuran dengan material yang tidak perlu. Maka harga beli pun lebih tinggi.
Sebaliknya, bila gambir yang diproduksi oleh petani itu semakin banyak campuran tanah, tepung, pupuk, kadar air, dan material lain, maka harga beli akan semakin turun.
"Nah di Sumbar, dulunya itu kualitas gambir yang diproduksi sangat bagus, murni bahkan. Tapi setelah sekian lama berjalan, ada saja ulah petani yang mencampur gambir itu, sehingga rusaklah kualitas dan akibatnya harga anjlok," ujarnya.
Diketahuinya kualitas gambir di Sumbar buruk, karena di PT Rajdular Brothers memiliki sebuah ruangan penguji kualitas gambir. Artinya sebelum gambir dari pengepul diterima, butuh dipastikan, apakah gambir yang dibawa itu kualitas bagus atau tidak.
"Bila tidak bagus, kita tidak beli. Tapi untuk kualitas yang rasanya standar, dan tidak dicampuri pupuk, maka akan kita beli, tapi harganya tidak penuh. Makanya ada harga rentangnya," ucap Ikhsan.
Terkait market, 85% pasar gambir ada di India, selebihnya dijual ke Nepal, Bangladesh, dan Pakistan. Apabila pasar utama mengalami masalah (yaitu India), maka ini turut mempengaruhi harga jual gambir di pasar Internasional yang otomatis juga akan mempengaruhi harga beli gambir di tingkat lokal.
Sehubungan dengan adanya pandemi Covid-19 gelombang pertama di India yang mulai naik di bulan Februari 2020 yang menyebabkan lockdown di negara itu.
Serta di pertengahan Maret 2020 dan pandemi gelombang kedua beserta lockdown di pertengahan Maret 2021. Hal itu turut menurunkan harga penjualan internasional dan pembelian gambir lokal pada bulan-bulan tersebut dan beberapa bulan setelahnya.
"Bahkan untuk bulan April dan Mei 2020 kami nihil penjualan gambir, dikarenakan masifnya pandemi Covid-19 di India," ungkapnya.
Selain itu, sejak bulan Januari 2019 hingga November 2021, persentase gross margin (laba kotor) tahunan PT Rajdular Brothers hanya berkisar dari 10–14%, dimana hal ini masih dalam kategori pengambilan laba yang wajar.
Bahkan tahun 2021, hingga bulan November rata-rata gross margin PT Rajdular Brothers hanya di angka 10% dan hal itu adalah yang terendah dari pada tiga tahun belakangan.
Untuk diketahui, gross margin belum dikurangi biaya operasional, biaya administrasi, biaya bunga bank, pajak, dan lain-lain.
"Kami ini bisa dikatakan market untuk ekspor gambir hanya 23 persen. Karena memang perusahaan ekspor gambir di Sumbar tidak hanya PT Rajdular Brothers, tapi juga ada beberapa eksportir gambir lainnya," tegasnya.
Dulu Harga Gambir di Sumbar Bisa Rp100.000 per Kilogram
Ikhsan menjelaskan dulu sekitar 7-10 tahun lalu permintaan dari India banyak, dengan supply gambir lokal yang masih terbatas di tingkat lokal (Sumbar). Soal kualitasnya pun masih terjaga dengan kadar catechin yang bagus (tak ada campuran).
Namun sekarang, terlihat pada tiga tahun belakangan petani ada yang merusak kualitas, lalu ditiru pula sama kelompok-kelompok tani lainnya dengan menambahkan unsur-unsur yang tidak perlu untuk sekedar menambah berat pada ekstrak gambir itu.
Seperti pupuk, tanah, debu. Belum pula kadar air yang masih tinggi.
Tidak hanya itu, dulu demand tinggi, supply rendah, dan kualitas bagus maka harga tinggi. Lalu demand tinggi, supply tinggi kualitas bagus, maka harga stabil.
Berbeda jika demand normal, supply tinggi kualitas bagus maka barang melimpah/banjir maka harga turun. Demand normal, supply tinggi kualitas rendah maka harga menjadi semakin rusak.
Demand rendah, supply tinggi, kualitas rendah maka harga menjadi semakin hancur lagi.
"Sekarang, posisi Sumbar adalah memiliki supply tinggi (melimpah) karena kelompok tani sudah banyak, produksi gambir sudah lebih banyak ketimbang 10 tahun lalu," ungkapnya.
Buruknya lagi, kata Ikhsan, sebagian dari mereka ada yang merusak kualitas dengan mencampurkan unsur-unsur yang tidak diperlukan, dan para petani yang menjual ke pengepul biasanya dengan gambier kadar air tinggi alhasil pengepul mesti menjemur lagi, da tentu ada penyusutan dan cost untuk itu.
Sehingga pengepul membeli gambir di harga yang lebih rendah agar bisa mengimbangi profit mereka, saat mereka jual ke para eksportir.
"Jadi soal murah harga itu, pengepul lah yang menentukan di lapangan. Sementara kita di gudang telah ada harganya," tegas dia.
Penyusutan yang dimaksud adalah, kalau kadar airnya 30% atau lebih, dibeli 100 kilo lalu pengepul mesti jemur lagi maka nanti barang yg tinggal tentu tidak sebanyak 100 kilo lagi, dan usaha menjemur juga tentu ada biaya,
Ikhsan menyarahkan, ada baiknya para petani memperbaiki kualitas dulu. Serta ada baiknya juga tidak usah menambah lahan lagi, karena hanya akan menambah angka produksi dan terjadi over production, dan harga bisa turun lagi.
"Jadi berkaca dari trend angka ekspor dari 4 tahun belakangan versi pemerintah. Angka ekspor bisa dikatakan berbanding lurus juga dengan keadaan supply, karena menjual barang tentu berdasarkan stok barang (supply) yang tersedia," jelasnya.
Lihat tahun 2017, angka ekspor di kisaran 15.200 ton yg artinya ketersediaan supply juga tentu tidak beda jauh, sehingga harga bisa Rp74 ribuan per kilogram.
Tahun 2018, angka ekspor meningkat di kisaran 18.015 ton yang juga menyiratkan ketersediaan supply pun meningkat. Tak ada keterangan pasti apakah pengiriman barang ini karena demand yang benar-benar sesuai kebutuhan pasar di sana atau cuma di stock saja disana oleh importir.
"Namun ini seperti yang saya bilang menyiratkan supply stock lokal meningkat, dan tahun ini terjadi pencampuran kualitas mulai marak yang juga mempengaruhi harga. Hasilnya, harga turun ke US$3,06 per kg atau di kisaran Rp43 ribuan," kata dia.
Begitupun di tahun 2019, di angka 18.608 ton. lagi-lagi ada peningkatan angka ekspor di tahun sebelumnya yang juga menyiratkan supply stock lokal meningkat lagi. Supply meningkat, dan kualitas belum terjaga maka harga turun lagi.
"Nah utk 2020, ini case-nya agak unik karena angka ekspor turun karena memang pasar (India) di sana lagi Lesu dikarenakan Covid-19. Sedangkan petani sudah terlanjur produksi barang, barang lagi-lagi berstatus over produksi yg akhirnya kembali menurunkan harga," sebutnya.
Berbicara angka ideal, Ikhsan menilai boleh dikurangi 10% dari trend ekspor 3 tahun belakangan yang berkisar di angka 18.000 ton.
"Jadi ada baiknya kisaran gambir di angka 16.000 ton saja utk percobaan menilai dinamika pasar," ujarnya.
Untuk itu, Ikhsan mengatakan turunnya harga gambir di Sumbar ini bukanlah soal monopoli. Melainkan telah melimpahnya stok dan diperparah kualitas yang sangat tidak bagus.
Karena di India khususnya, dulu gambir tidak hanya dijadikan bahan pewarna untuk membuat kain sari (pakaian perempuan India), tapi juga ada diolah untuk dikonsumsi. Risikonya buruk, bila ada gambir yang dicampur pupuk, malah dikonsumsi. (k56).