Bisnis.com, PADANG - Kendati Provinsi Sumatra Barat sebagai daerah penyumbang ekspor gambir terbesar di Indonesia yang mencapai 80 persen, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan sebagian besar petaninya.
Hal ini beranjak dari anjloknya harga harga gambir yang telah berlangsung hampir 3 tahun. Kondisi tersebut juga dikeluhkan oleh petani di Sumbar sampai saat ini.
Inisiator Asosiasi Petani Gambir (APG) Pesisir Selatan Asril Encik mengatakan diperlukan regulasi khusus guna revitalisasi tata kelola gambir. Jika langkah itu tidak dilakukan, komoditas gambir semakin hari akan sulit membaik.
"Percepatan hilirisasi dan pengaturan harga yang memihak pada petani adalah hal yang harus dilakukan Pemprov Sumbar," tegasnya di Padang, Minggu (6/2/2022).
Dia menyebutkan dari APG telah mencatat beberapa poin yang perlu ditindaklanjuti oleh Pemprov Sumbar terkait perekonomian petani gambir.
Catatannya itu yang pertama yakni masih terkendalanya percepatan hilirisasi industri gambir. Bahkan sudah terjadi hilirisasi produksi gambir dengan dijualnya daun gambir oleh petani kepada pengusaha gambir.
Kedua, perlunya pengaturan tata niaga atau perdagangan gambir yang terindikasi sudah masuk dalam kategori monopoli dan kartel.
Ketiga, peningkatan kualitas produksi. Keempat, belum ditetapkannya harga dasar, yang sesuai dengan nilai nominal jerih payah Petani dan tidak memenuhi besarnya biaya kebutuhan dasar, sesuai dengan kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Kelima, tidak adanya harga transaksi yang berdasarkan fluktuasi harga pasar gambir dunia. Karena gambir merupakan komoditas ekspor, maka harga transaksi gambir harus mengikuti perkembangan harga gambir di pasar dunia.
"Kelima poin itu, yang kami lihat adalah titik persoalannya. Jika ingin mengangkat perekonomian petani gambir. Pemprov Sumbar perlu bergerak dari lima poin itu," ujarnya.
Menurutnya salah satu hal yang juga perlu jadi perhatian adalah soal penetapan harga dasar dan harga transaksi. Karena selama ini harga gambir di pasaran Sumbar, ditetapkan secara sepihak oleh para eksportir atau pengusaha produk gambir dan pengumpul atau toke.
"Sehingga selama beberapa tahun terakhir ini rata-rata harga gambir hanya berkisar Rp18.000 sampai Rp30.000 per kilogram," ujarnya.
Selain itu, APG Pessel juga meminta agar segera diterbitkan regulasi khusus di Sumbar, sebagai provinsi dengan jumlah ekspor gambir terbesar nasional, terkait tata niaga gambir.
"Perlu triple konsensus, antara pemerintah, pengusaha dan petani. Sehingga perjanjian jual beli nanti tidak lagi melalui toke tapi sudah melalui asosiasi petani gambir, kita harapkan seperti itu. Sehingga koperasi dengan eksportir sudah business to business," lanjut Asril.
Dikatakan saat ini di Pessel terdapat lahan produktif gambir seluas 5.537 hektare dengan produksi mencapai 3.014 ton per enam bulan. Sektor ini mampu menyerap 9418 tenaga kerja.
"Produksi kita banyak. Tapi harganya itu yang tidak layak, mengingat prosesnya begitu sulit," tegasnya.
Menanggapi pernyataan itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi mengatakan persoalan gambir itu, telah lama menjadi perhatian pemerintah.
Bahkan telah ada rencana untuk memfungsikan resi gudang yang ada di Kabupaten Limapuluh Kota. Tapi Pemprov Sumbar terkendala dalam permodalan.
"Jadi apa yang menjadi catatan dari APG Pesse itu, akan segera kita buatkan tim perumusan rancangan perda, sehingga kedepan kendali perniagaan gambir bisa dikendalikan secara lebih baik demi kesejahteraan para petani kita," sebut Mahyeldi.
Gubernur juga instruksikan OPD terkait untuk bisa mensosialisasikan berbagai masukan dari APG Pessel ke beberapa daerah sentra gambir lainnya seperti yang ada di Kabupaten Limapuluh Kota. (k56).