Bisnis.com, PALEMBANG – Petani kelapa di Sumatra Selatan berpotensi mengekspor sabut kelapa yang selama ini hanya menjadi limbah. Potensi tersebut eiring adanya rencana pembangunan pabrik pengolahan di Kabupaten Banyuasin.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, mengatakan petani kelapa dan pengelola pabrik kelapa di Kabupaten Banyuasin itu telah menandatangani MoU sebagai langkah awal.
“Selama ini sabut kelapa hanya dibuang kemudian dibakar karena pengusaha belum tahu pasarnya di mana dan potensinya, sekarang setelah melihat pabrik di Lampung baru terpikir ingin bangun pabrik pengolahannya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Senin (16/11/2020).
Rudi menjelaskan pabrik tersebut akan mengolah sabut kelapa menjadi serat (coco fiber) dan serbuk (coco peat) yang bernilai tambah untuk pasar ekspor.
Adapun negara tujuan untuk kedua produk tersebut banyak menuju China, Jepang dan sebagian negara di Eropa.
“Setelah MoU antara pemilik pabrik dengan kelompok tani, maka petani dapat menyuplai bahan baku sabut, dan tidak menutup kemungkinan turunan kelapa yang lain, termasuk kelapa bulat,” ujarnya.
Baca Juga
Dia memaparkan harga pokok produksi coco fiber senilai Rp1.900 dan coco peat senilai Rp1.100 per kilogram di tingkat petani. Sementara untuk harga ekspor masing-masing senilai Rp3.000 dan Rp2.000 per kg.
Rudi mengemukakan Sumsel memiliki kebun kelapa seluar 65.242 hektare dengan produksi mencapai 57.570 ton kopra atau setara 230,28 juta butir kelapa per tahun.
Pihaknya berharap sektor perkebunan kelapa sudah dapat memanfaatkan sabut dan memproduksi cocofiber dan coco peat pada tahun 2021, target awal separuh dari potensi sabut kelapa.
“Dengan potensi ekspor sabut 50% saja, kami menghitung nilai devisanya setara Rp71,96 miliar,” katanya.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel mencatat ekspor kelapa bulat terus meningkat. Mayoritas komoditas itu dilepas ke pasar Tiongkok.
Kepala BPS Sumsel Endang Tri Wahyuningsih mengatakan ekspor kelapa sepanjang Januari – Oktober 2020 mencapai US$21,04 juta. Nilai tersebut melonjak 41,68% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai US$14,85 juta.
“Sebetulnya hal-hal yang terkait kelapa ini laku semua, bukan cuma buahnya saja tinggal bagaimana OPD (organisasi perangkat daerah ) terkait menjaga agar turunan komoditas ini berkelanjutan dan diekspor,” katanya.