Menurut data yang dipaparkan kepala BP Batam Lukita Dinarsyah Tuwo, ada sekitar 60 ribu kapal yang melewati selat Malaka tiap harinya.
Namun melihat data trafic secara real time, Indonesia (Batam) hanya amp menangkap 5 hingga 10 persen potensi tersebut.
“Negara tetangga berhasil menjadikan Indonesia sebagai Hinterland,” ujar Lukita.
Padahal jika melihat posisinya, Batam berada tepat di depan Singapua. Kondisi geografis kedua kawasan tak jauh berbeda.
Baca Juga
Namun sayangnya Indonesia tak membangun pelabuhan transhipment skala Internasional di beranda depannya yang berada dekat dengan selat Malaka.
Batam sendiri hanya punya pelabuhan Batuampar dengan kapasitas 500 ribu teus. Sementara Singapura sudah punya pelabuhan berkapasitas 20 juta Teus. Dia menegaskan, Indonesia tak akan bisa berharap banyak mampu mengakomodir kegiatan ekonomi skala besar terkait jasa pelabuhan.
“Indonesia harus mewujudkan adanya pelabuhan besar di Kepri. Ini bagian dari membangun kemaritiman Indonesia,” jelasnya.
Selain kehilangan bersaing di Selat Malaka, aktifitas Ekspor Impor Indonesia juga tak berjalan optimal. Selama ini barang Ekspor Indonesia harus lebih dulu melalui pelabuhan Singapura sebelum menuju ke negara tujuan. Demikian juga impor yang akan masuk ke Indonesia, harus lebih dulu melalui Singapura atau Malaysia.
Menurut Lukita, saat ini adalah momentum paling baik bagi Indonesia untuk mewujudkan pembangunan pelabuhan berkapasitas besar di Batam. Lukita memaparkan dua alasan utama mengapa momentum saat ini paling tepat.
Pertama adalah mengenai potensi trafik kapal yang melalui Selat Malaka. International Transport Forum (ITF) dalam Transport Outloook 2017, memproyeksi trafik kargo di Asia Tenggara mencapai 143 juta TEUs per tahun pada 2030 atau peningkatan terbesar dari seluruh total trafik kargo di dunia, disusul China 94 juta TEUs. Sementara total trafik di Asia Tenggara pada 2013 tercatat 88 juta TEUs dengan kapasitas maksimal pelabuhan 124 juta TEUs.
Jika Pemerintah segera membangun pelabuhan representatif di Kepri, maka Indonesia akan memiliki kesempatan menangkap manfaat ekonomi yang besar dari peningkatan trafik tersebut.
Alasan kedua adalah perkembangan politik di Malaysia. Saat ini, Malaysia membatalkan sejumlah proyek pembangunan yang dibiayai oleh China. Salah satunya adalah pembangunan pelabuhan di sisi Barat Malaysia.
Malaysia berencana membangun pelabuhan raksasa di Pulau Carey di sebelah Port Klang dengan nilai USD31,8 miliar. Selain itu negeri Jiran juga berecana membangun pelabuhan deep water port. Proyek ini dinamai Melaka Gateway Project.
Sementara di sisi darat, Malaysia akan mebangun kereta api yang membentang dari barat ke timur dinamai East Coast Rail Link (ECRL). Semua pembiayaannya dilakukan atas kerjasama dengan China. Proyek terpadu ini disebut-sebut sebagai rute perdagangan alternatif yang bisa menangani potensi 53 juta ton kargo sekaligus diproyeksikan melewati trafik di Singapura pada 2030.
Malaysia sudah bersiap menghadapi pertumbuhan trafik kargo di Port Klang di Selangor dan Pelabuhan Tanjung Pelepas di Johor Baru. Malaysia muncul sebagai saingan terdekat Singapura untuk melayani volume transhipment di Asia Tenggara. Singapura selama ini menjadi pelabuhan hub utama di Asia Tenggara.
Selain itu, proyek terusan Krah di Thailand juga tidak berjalan seperti rencana, menambah tingginya potensi peningkatan aktifitas pelayaran di Selat Malaka. Menurutnya, kawasan itu masih akan jadi selat dengan aktifitas pelayaran terpadat di dunia.
“Jika kita mengambil kesempatan ini, sementara Malaysia membatalkan proyek pembangunan pelabuhannya, maka Indonesia akan punya peluang lebih besar di Selat Malaka,” jelasnya.
BP Batam sendiri menjadikan misi pembangunan pelabuhan ini menjadi program khusus. Lukita dan institusi yang dipimpinnya akan terus mendorong kepada pemerintah pusat untuk membangun pelabuhan besar di Batam.
“Selama ini sudah ada 3 kali rencana pembangunan tapi gagal terus. Kalau pelabuhan itu ada, maka perkapalan domestik akan berkembang pesat. Hub dan feeder juga bisa tumbuh pesat,” tegasnya.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Carmelia Hartoto mengatakan, Kepri adalah tempat yang paling tepat untuk dijadikan Hub Logistik Internasional. Lokasinya sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran tersibuk di selat Malaka dan berhadap-hadapan langsung dengan Singapura.
“Pelabuhan di Jakarta lebih cocok jadi Hub Domestik. Tapi kalau bicara paling cocok jadi Hub Internasional, Kepri tepatnya Batam yang paling cocok,” jelasnya.
Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus bagi Kepri, khususnya Batam guna mempersiapkan pelabuhan yang benar-benar memenuhi syarat untuk dijadikan Hub Internasional. Agar kargo yang tadinya berhenti di Singapura bisa diangkut melalui Batam.
“Berkali-kali ingin membangun pelabuhan yang besar di Kepri, tapi akhirnya tak tertata. Sekarang kita berharap pelabuhan itu bisa terbangun sesuai cita-cita kita,” jelasnya.
Dia percaya, perusahaan pelayanan Internasional akan mulai melirik jika Kepri telah memiliki pelabuhan yang memadai sebagai Hub Internasional. Perusahaan pelayaran yang selama ini hanya punya pilihan di Singapura dan Malaysia akan punya pilihan baru untuk dikembangkan.
Sejauh ini beberapa perusahaan pelayaran raksasa telah beroperasi di Singapura dan Malaysia. Seperti perusahaan asal Denmark Maersk Line yang telah menjadikan Malaysia menjadi HUB. Jika Kepri punya pelabuhan yang representatif, hal serupa bisa juga terjadi di Kepri.
“Perusahaan pelayaran internasional yang besar-besar akan punya pilihan untuk menentukan Hubnya mereka. Kita akan lihat lagi, apakah China atau mana yang akan menjadikan Indonesia sebagai Hub mereka,” paparnya.