Bisnis.com, MEDAN - Serikat Petani Indonesia menilai 2017 adalah tahun yang menentukan untuk menilai komitmen Nawa Cita atau 9 program prioritas Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla di bidang agraria, perdesaan, pertanian dan pangan karena 2018 dan 2019 merupakan tahun politik.
Ketua Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, evaluasi terhadap kebijakan dan kinerja Pemerintah sepanjang 2017 menjadi catatan penting bagi organisasinya untuk menentukan langkah dan strategi perjuangan gerakan petani secara nasional.
"Kami telah membuat catatan di berbagai aspek, mulai dari agraria, pertanian, kedaulatan pangan, perubahan iklim, pembangunan perdesaan, kemiskinan, kelaparan dan tingkat kesejahteraan petani, hingga hak asasi petani," ujarnya saat temu pers Catatan Akhir Tahun SPI 2017 yang digelar di Medan, Rabu (27/12/2017).
Henry menjelaskan, reforma agraria yang jadi program prioritas melalui RPJMN 2014-2019, yakni meredistribusikan tanah (land reform) seluas 9 juta hektare kepada petani, belum kunjung dijalankan hingga tahun ketiga pemerintahan. Pemerintah justru fokus pada program sertifikasi dan pembentukan bank tanah.
Upaya reforma agraria berusaha diwujudkan pemerintahan Jokowi-JK dengan menggunakan konsep kehutanan sosial. Sayangnya, kata Henry, program kehutanan sosial bukan redistribusi lahan murni, melainkan hanya hak pakai selama 35 tahun.
Eskalasi konflik agraria juga semakin meningkat dan penggusuran serta perampasan tanah petani masih terus berlangsung. Rezim pun menggunakan pembenaran infrastruktur dan legal standing dengan mengenyampingkan pertimbangan sosial petani.
"Oleh karena itu, tahun 2017 ini merupakan tahun darurat agraria," tegasnya.
Sementara di bidang pertanian, Jean Ari , Sekretaris DPW SPI Sumut melanjutkan, Pemerintah masih menerapkan revolusi hijau dan ketahanan pangan dengan penggunaan benih korporasi, pupuk kimia berbahaya dan obatan-obatan anorganik lainnya.
Pengerahan korporasi sebagai investor dengan model contract farming untuk peningkatan produksi pangan seperti PIS-Agro (Partnership for Indonesia's Sustainable Agriculture) juga dinilai sudah jauh melenceng dari kedaulatan pangan.
Demikian halnya dari sisi kedaulatan pangan. Kementerian Pertanian dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2017 telah menganggarkan dana sebesar Rp25,99 trilliun untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga mendeklarasikan Indonesia telah mencapai level swasembada pangan dan tidak akan melakukan impor pangan pada 2017.
Namun, faktanya di lapangan Pemerintah masih melakukan impor pangan dalam jumlah besar, a.l. komoditas beras mencapai 198 ribu ton senilai US$94,9 juta, daging 75,5 ribu ton sebesar US$265,4 juta dan kedelai 5,417 juta ton bernilai US$2.211 juta.
Dalam menghadapi banyaknya bencana alam dan kekeringan sepanjang tahun ini Pemerintah juga justru mengedepankan asuransi pertanian yang mengedepankan korporasi finansial.
Padahal, terdapat opsi lain dalam UU Nomor 19/2013, yang mana untuk mengatasi penanggulangan kerugian petani secara cepat dilakukan penggantian kerugian gagal panen.
"Pemerintah juga ikut andil meningkatkan suhu dan mencemari lingkungan melalui pertanian revolusi hijau dan memberikan izin perkebunan monokultur kepada korporasi seperti izin perkebunan sawit yang mencapai sekitar 8 juta hektar, perkebunan tembakau maupun karet."