Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penerapan 'Strick Liability' Pembakaran Hutan Dianggap Keliru

Putusan hukum atas kasus kebakaran hutan dengan pendekatan strick liabilty menjadi salah satu topik yang dipersoalkan dalam Indonesian Palm Oil Stakeholder Forum oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
JIBI - Yoseph Pencawan
JIBI - Yoseph Pencawan

Bisnis.com, MEDAN - Putusan hukum atas kasus kebakaran hutan dengan pendekatan strick liabilty menjadi salah satu topik yang dipersoalkan dalam Indonesian Palm Oil Stakeholder Forum oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.

Dalam pelaksanaannya, pembahasan topik ini menghadirkan sejumlah narasumber, a.l. Sadino, Penasihat Hukum Gapki, Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda dan Ketua Dewan Kehormatan Peradi Sumut OK Iskandar.

"Strick liability hanya bisa digunakan untuk subjek hukum bukan manusia, bukan pertanggungjawaban pidana terhadap orang," kata Chairul Huda saat berbicara dalam forum, Kamis (28/9/2017).

Konsep strict liability pertama kali diserap dalam hukum di Indonesia lewat UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan itu kemudian diubah dengan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Pasal 88 UU ini mencantumkan dengan tegas konsep strict liability, yang mana diatur setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

"Ini salah satu kekeliruan di dalam penggunaan strick liability," tegas Chairul Huda.

Menurutnya, strick liability dipergunakan untuk korporasi, badan hukum atau badan usaha sehingga secara individu, manajemen perusahaan tidak bisa dipermasalahkan dengan pendekatan ini. Namun yang banyak terjadi, manajemen perusahaan, secara individu, dianggap bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi (kebakaran hutan).

Subjek hukum, kata dia, adalah manusia dan bukan manusia dan masing-masing bisa diminta pertanggung jawaban. Karena itu, bila perusahaan sudah diminta pertanggung jawaban, seharusnya secara individu tidak lagi, atau tidak lagi dibebankan kepada individu.

"Ada banyak kasus, yang harus bertanggung jawab korporasinya, tetapi yang masuk penjara adalah individunya."

Kekeliruan berikutnya adalah mengenai tindak pidana yang dilakukan. Menurut Chairul, dalam pendekatan strick liability harus dilihat dulu aspek mana yang masuk dalam tindak pidana korporasi. "Ini yang tidak pernah dilakukan, lompat saja."

Padahal, lanjutnya, yang harus terlebih dahulu dilakukan adalah menentukan tindak pidana yang terjadi sehingga perusahaan bisa diminta pertanggung jawaban bila ada tindak pidana yang dilangar.

"Yang dicantumkan dalam UU rata-rata tindak pidana untuk manusia. Tidak dipersiapkan dari awal, bisa untuk korporasi, bisa untuk manusia."


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yoseph Pencawan
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper