Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Keasrian Hutan di Kepulauan Mentawai Sumbar Terancam Dirusak

Rencana pemanfaatan kayu hutan di Kepulauan Mentawai dinilai harus dihentikan, karena berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang serius bagi masyarakat.
Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat. ANTARA/HO-Istimewa
Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat. ANTARA/HO-Istimewa

Bisnis.com, PADANG - Ketentraman masyarakat di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, terancam setelah adanya rencana pengambilan kayu yang ada di dalam hutan, meski telah ada aturan bahwa daerah pulau-pulau di Mentawai itu dilindungi.

Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar Tommy Adam mengatakan rencana pengambilan kayu yang ada di kepulauan Mentawai tersebut tidak layak dilanjutkan, karena cacat secara hukum

Sudah sepatutnya rencana pemanfaatan kayu hutan tersebut dihentikan, karena berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang serius bagi masyarakat setempat.

Dijelaskan, pada 28 Maret 2023, ketika itu Bahlil Lahadalia yang menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi penanaman Modal, atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menerbitkan surat Nomor 28032311111309002 tentang Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada Hutan Produksi atas nama PT Sumber Permata Sipora (PT SPS) seluas 20.706 ha di Kabupaten Kepulauan Mentawai. 

“Dengan persetujuan komitmen itu, PT SPS diberi hak untuk memanfaatkan hasil kayu hutan alam dan hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan. Terkait hal tersebut, kami menyatakan rencana usaha dimaksud tidak layak bagi lingkungan,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (17/6/2025).

Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terakhir perubahannya dengan UU Nomor 6 Tahun 2023, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. 

Bahkan UU tersebut menetapkan prioritas kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk kepentingan Konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan atau pertahanan dan keamanan negara.

“Sebagai hukum khusus yang berlaku atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka keberlakuan UU Kehutanan dan tata ruang selaku hukum yang umum dikesampingkan oleh UU ini berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis. Jadi, rencana pemanfaatan kayu hutan di Mentawai itu apabila tetap dilanjutkan, maka cacat secara hukum,” jelasnya.

Menurutnya terdapat cacat serius dalam proses penyusunan dan substansi dokumen kerangka acuan dan dokumen AMDAL Ketidaksesuaian Nomor Izin Klasifikasi Baku Lapangan Berusaha Indonesia (KBLI) dengan Rencana usaha yang dicantumkan dalam permohonan izin Lingkungan. 

“Pencantuman KBLI yang tidak sesuai juga dapat menyesatkan proses evaluasi AMDAL dan menjadi celah penyalahgunaan izin untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana usaha yang sebenarnya,” tegas dia.

Hal yang cukup mengejutkan itu, kata Tommy, dari pengolahan yang dilakukan dengan aplikasi perpetaan (Geographic Information system) menghasilkan bahwa dari 132 titik koordinat yang terdapat dalam lampiran surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk Kegiatan Berusaha Nomor 16042510411309002 yang dikeluarkan oleh Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional tanggal 24 Januari 2023, ternyata berada di Kelurahan Ciwaringin Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor Provinsi Jawa Barat seluas 2.407 ha. 

Artinya lokasi tersebut berbeda dengan lokasi rencana usaha yang disebutkan dalam persetujuan komitmen dan dokumen AMDAL PBPH PT SPS yang berlokasi di Sipora seluas 20.706 Ha.

Dikatakannya kesalahan ini merupakan kekeliruan yang fatal dan tidak dapat ditoleransi, karena menyangkut legalitas lokasi perizinan dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius. 

Ketidaksesuaian antara titik koordinat dalam persetujuan pemanfaatan ruang dan lokasi aktual kegiatan usaha bukan hanya mencerminkan lemahnya proses verifikasi dokumen oleh pihak yang berwenang, tetapi juga kesalahan pada objek. 

Dalam konteks perizinan PBPH PT SPS di Pulau Sipora, ketidaksesuaian lokasi ini memperkuat dugaan bahwa proses penerbitan izin dilakukan secara serampangan dan tanpa dasar yang sah, sehingga perlu segera dilakukan evaluasi menyeluruh dan pembatalan terhadap persetujuan yang telah dikeluarkan tersebut.

“Kajian rona awal lingkungan dalam studi AMDAL tidak komprehensif dan tidak akurat,” sebutnya.

Tommy menyampaikan wilayah studi dalam penyusunan AMDAL tidak meliputi keseluruhan area yang diperkirakan akan terdampak akibat aktivitas PBPH PT SPS. Terutama daerah pesisir dan perairan laut, akibatnya dampak lingkungan yang terjadi di lokasi-lokasi tersebut tidak akan terpantau dan terkelola.  

Perusahaan akan membangun atau revitalisasi jalan utama sepanjang 130 km, ujar Tommy, namun dalam dokumen AMDAL tidak ditemukan informasi yang menjelaskan sumber material yang akan digunakan untuk membangun atau revitalisasi jalan-jalan tersebut. 

Akibatnya tidak ada identifikasi dampak lingkungan pada kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan atau revitalisasi jalan tersebut, baik dampak yang terjadi di lokasi sumber pengambilan bahan material maupun dampak dampak yang terjadi pada kegiatan mobilisasi material pengerasan jalan. 

“Tanpa adanya informasi mengenai lokasi quarry atau sumber material, maka tidak ada analisis mengenai perubahan bentang alam, degradasi habitat, potensi longsor, sedimentasi, pencemaran air, maupun konflik lahan yang mungkin terjadi di lokasi pengambilan material,” katanya. 

Selain itu, mobilisasi material menuju lokasi proyek yang melibatkan ratusan hingga ribuan kendaraan berat akan menimbulkan peningkatan emisi, kebisingan, kerusakan jalan lokal, dan potensi kecelakaan lalu lintas, khususnya jika melewati permukiman atau kawasan sensitif ekologis.

Kemudian tidak terdapat data awal yang berkaitan dengan keberadaan satwa endemik dan satwa liar dilindungi lainnya di lokasi rencana usaha, baik mengenai jumlah, sebaran, perkembangan, kualitas habitat dan karakter dari satwa-satwa tersebut. 

“Informasi dasar mengenai satwa seperti jumlah populasi, wilayah jelajah, pola migrasi, hingga ketergantungan terhadap tipe habitat tertentu merupakan elemen penting untuk menilai signifikansi dampak suatu kegiatan terhadap keanekaragaman hayati,” ujarnya.  

Dia menyatakan rencana kegiatan usaha dapat berpotensi melanggar hukum karena menyebabkan perusakan habitat secara ilegal dan ancaman kepunahan terhadap spesies endemik. Hal ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga berkonsekuensi hukum karena dapat melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta peraturan turunan lainnya.

“Dalam dokumen AMDAL tidak ditemukan informasi mengenai kelompok marginal yang keberlanjutan kegiatan ekonominya harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Misalnya ibu-ibu rumah tangga pembudidaya Toek (Pangan Lokal),” ungkap dia. 

Bahkan Tommy mengatakan pihak perusahaan tersebut tidak akan direkrut menjadi karyawan di PT SPS. Sementara pendapatan masyarakat di Mentawai bersumber dari penjualan toek terancam hilang, akibat potensi memburuknya kondisi Sungai, baik karena pelumpuran akibat penebangan kayu pada daerah tangkapan airnya, maupun karena cemaran kimiawi seperti ceceran atau rembesan oli dan minyak ke badan sungai dan anak Sungai.  

“Ketidakhadiran analisis mengenai kelompok marginal dalam AMDAL bukan hanya cacat secara teknis, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip keberlanjutan dan inklusivitas,” sebutnya.

Tommy kembali menjelaskan ada beberapa data yang digunakan dalam kajian AMDAL bukanlah data primer yang diambil dari lokasi di dalam dan sekitar rencana usaha. Sehingga data-data tersebut belum tentu memberikan gambaran kondisi lingkungan Lokasi rencana usaha yang sesungguhnya.

Misalnya penggunaan data sekunder berkaitan dengan data hidrologi, debit sungai, dan satwa. Bahkan sebagian data yang digunakan adalah data yang sampelnya diambil di pulau Siberut. Pulau yang terpisah cukup jauh dari Pulau Sipora yang menjadi Lokasi rencana usaha PBPH PT SPS.  

“Penggunaan data seperti ini potensial menimbulkan kesalahan dalam mengidentifikasi dampak, sehingga tidak tepat pula dalam pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup,” katanya.

Menurutnya meskipun disebutkan bahwa PBPH ini akan membuka lapangan kerja, tetapi tidak terlihat dalam AMDAL tentang prioritas serapan tenaga kerja bagi Masyarakat lokal. Artinya penerimaan tenaga kerja akan dilakukan dengan seleksi terbuka, yang memungkinkan tenaga kerja lokal tersingkir dalam proses seleksi, terutama untuk posisi-posisi yang membutuhkan skil. 

Dalam dokumen AMDAL juga tidak digambarkan tentang jumlah penduduk yang akan kehilangan pekerjaan karena hilangnya hak dan akses untuk memanfaatkan hutan yang menjadi areal konsesi. 

Proses penyusunan AMDAl ini tidak partisipatif, ujar Tommy, dalam pertemuan yang hanya dilakukan satu kali, pihak PT SPS hanya mengundang 4 orang dari setiap desa. Keempat orang tersebut pasti gagal mewakili ragam kepentingan dari keseluruhan warga desa. 

Pengumuman tentang pelaksanaan studi AMDAL, juga hanya diumumkan pada koran-koran yang tidak beredar secara luas di desa-desa yang menjadi Lokasi rencana usaha PBPH PT SPS, sehingga pengumuman tersebut tidak menjadikan masyarakat di Lokasi rencana usaha sudah diinformasikan terkait dengan rencana usaha ini.

Permintaan WALHI Bersama Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar

Oleh karena itu, WALHI bersama koalisi masyarakat sipil Sumbar mendesak Menteri Kehutanan serta Menteri Investasi/BKPM untuk segera membatalkan izin persetujuan komitmen PBPH atas nama PT SPS, karena cacat prosedural, substansi, dan administratif yang membahayakan keselamatan lingkungan dan hak hidup masyarakat adat di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai.

Kemudian juga meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menegakkan ketentuan UU No. 27 Tahun 2007, jo. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas menyatakan bahwa pulau kecil seperti Sipora harus diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan, riset, pariwisata berkelanjutan, dan ketahanan pangan lokal — bukan untuk eksploitasi hutan dalam skala besar. 

Selanjutnya mendesak Tim Uji kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar untuk menyatakan rencana usaha PT SPS tidak layak lingkungan dan Komisi Penilai AMDAL Pusat tidak menerbitkan persetujuan lingkungan untuk PBPH PT SPS.

Lalu menuntut pembatalan dokumen AMDAL PT SPS karena disusun secara tidak partisipatif, tidak berbasis data primer, mengandung banyak kekeliruan teknis, serta mengabaikan aspek penting seperti keanekaragaman hayati, kerawanan bencana, dampak sosial ekonomi, serta hak-hak masyarakat adat.

Serta menolak seluruh bentuk kegiatan penebangan hutan alam di Pulau Sipora, karena akan memperparah krisis ekologis, memperbesar risiko bencana, serta mengancam keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adat dan lokal, terutama kelompok marginal seperti perempuan pembudidaya pangan lokal (toek).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper