Bisnis.com, PALEMBANG — Kendati berada di peringkat kelima penghasil padi terbesar di Indonesia, Provinsi Sumatra Selatan masih menyimpan potensi pertanian yang belum tergarap secara optimal.
Salah satu potensi tersebut adalah pemanfaatan lahan rawa lebak yang memiliki peluang besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian di wilayah ini.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Sumatra Selatan (Sumsel) memiliki lahan rawa lebak seluas 2,98 juta hektare. Namun, dari jumlah tersebut, baru sekitar 368.681 hektare yang telah dimanfaatkan.
Rinciannya mencakup lebak dangkal seluas 70.908 hektare, lebak tengahan 129.103 hektare, dan lebak dalam 168.670 hektare. Dengan demikian, masih terdapat sekitar 2,60 juta hektare lahan rawa lebak yang belum tergarap.
Kepala Seksi Pelayanan Teknis Mutu Benih Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Wahyu Anita Sari mengungkapkan produktivitas lahan lebak khususnya lebak dalam masih tergolong rendah.
Hal ini disebabkan oleh karakteristik lahan yang sangat beragam dan tantangan hidrologis yang kompleks.
Baca Juga
Lebak dangkal memiliki ketinggian muka air kurang dari 50 sentimeter dengan masa surut sekitar tiga bulan. Lebak tengahan memiliki ketinggian air antara 50–100 sentimeter dan masa surut 3–6 bulan. Sementara itu, lebak dalam memiliki ketinggian air lebih dari 100 sentimeter dengan masa surut lebih dari enam bulan.
Kondisi itu juga sangat bergantung pada musim. Apabila musim kemarau tidak berlangsung cukup lama, air di lahan lebak tidak surut sepenuhnya sehingga petani tidak dapat melakukan penanaman
“Sehingga umumnya penanaman di lahan itu (lebak) hanya bisa sekali dalam setahun, kemudian menunggu air surut lahannya menganggur,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Jumat (13/6/2025).
Oleh karena itu, kata dia, sebagai upaya optimalisasi lahan lebak, wilayah ini mulai menjajaki pengembangan inovasi padi apung.
Anita menerangkan, penanaman padi apung membuka peluang pemanfaatan lahan lebak yang sebelumnya tidak digarap setelah masa panen. Dengan demikian, petani berpotensi melakukan tanam dan panen dua kali dalam setahun di lahan yang sebelumnya hanya bisa ditanami sekali.
“Jadi bisa meningkatkan indeks pertanaman dan jumlah produksi padi sebagai upaya mencapai swasembada pangan,” katanya.
Dia mengungkapkan metode padi apung sudah pernah diujicobakan pada tahun lalu dengan penggunaan sekitar 16 varietas padi
Hasilnya padi apung menunjukkan pertumbuhan yang cukup bagus. Namun, tantangan yang dihadapi yaitu organisme pengganggu tanaman (OPT).
“Menjelang panen itu OPT banyak, jadi tantangannya di OPT. Karena kalau padi apung ini kita tanamnya kan tidak berbarengan dengan padi konvensional,” jelas dia
Dengan demikian, pada tahun ini, pihaknya akan kembali melakukan uji coba budidaya padi apung dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penghambat di tahun sebelumnya.
Adapun rencana itu akan dilakukan di area seluas 9.000 meter yang terletak di kawasan Jakabaring Sport City (JSC) Palembang, dengan rencana pembibitan sebanyak 61 varietas padi.
“Dan nanti berbagai varietas yang kita tanam ini akan kita pamerkan dalam acara Gebyar Perbenihan di September mendatang, dengan harapan ada pihak yang melihat dan tertarik untuk kemudian bisa berinvestasi dengan metode penanaman padi apung,” ujarnya.
Meski begitu, Anita juga tidak menepis bahwa pengembangan padi apung memiliki tantangan lain. Selain gangguan OPT, faktor biaya operasional juga menjadi salah satu catatan
Dia menyebut padi apung bisa memakan 2-3 kali lipat dari biaya operasional yang biasa digunakan penanaman padi konvensional
“Kalau dari sisi efisiensi dan efektifnya, memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tetapi dampaknya itu tadi, produksi bisa meningkat karena penanaman bisa dua kali,” kata dia.
Pengalaman Petani
Abdul Patih, warga Desa Sungai Rebo, Kabupaten Banyuasin, mengatakan bahwa dia pernah mencoba untuk menerapkan penanaman padi menggunakan metode apung.
Menurutnya, tidak ada perbedaan tingkat kesulitan yang signifikan antara penanaman padi konvensional dan padi apung.
“Secara umum sih nggak ada ya (kesulitan) mungkin ya karena padi apung butuh alat-alat saja yang biasanya tidak digunakan di konvensional,” ujarnya.
Abdul mengatakan dari sisi waktu penanaman juga tidak ada kesenjangan. Dari mulai pembenihan sampai masa panen padi apung periodenya tidak jauh berbeda dengan tanaman padi yang ditanam di lahan irigasi dan jenis lainnya.
Namun dia mengatakan keunggulan yang bisa dilihat dari padi apung yakni waktu penanaman yang sangat fleksibel.
“Jadi tidak perlu menunggu periode tanam ini, itu, selagi ada airnya bisa langsung ditanami padi,” tutupnya.