Bisnis.com, PADANG — Pengamat ekonomi dan juga guru besar di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Syafruddin Karimi menyatakan perang ekonomi Amerika Serikat dengan China bukan lagi soal kebijakan dagang tapi bentuk perundungan global.
Dia menyebutkan melihat respons Tiongkok terhadap tekanan tarif yang dilakukan Presiden AS Donald Trump merupakan sinyal kuat bahwa tatanan ekonomi global yang selama ini didominasi oleh kekuatan besar tidak lagi mampu menjamin keadilan dan kestabilan.
"Ketika Amerika Serikat secara sepihak menaikkan tarif menjadi 104%, Tiongkok membalas dengan tarif 84%—bukan semata untuk melindungi kepentingan domestik, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik sepihak yang merusak prinsip multilateralisme," katanya, Jumat (11/4/2025).
Menurutnya konfrontasi itu menjadi cermin bahwa sistem perdagangan global membutuhkan reformasi mendalam yang melibatkan semua negara, bukan hanya segelintir pemain dominan, dan dunia tidak bisa lagi menerima sistem yang membolehkan satu negara menentukan arah arus dagang global tanpa konsultasi dan kesepakatan bersama.
"Jika aturan main hanya menguntungkan yang kuat, maka realisasi akan menjadi norma baru, dan sistem akan kehilangan legitimasinya," ujar dia.
Oleh karena itu, momen ini harus dijadikan titik tolak untuk membangun tatanan ekonomi dunia yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berbasis resiprositas sejati, di mana negara berkembang memiliki ruang setara dalam menyusun aturan dan menjaga stabilitas global.
Baca Juga
Kemudian, tidak mengonfrontasi tarif Trump sama saja dengan memberikan legitimasi terhadap kekacauan sistemik yang sengaja diciptakan demi kepentingan sepihak.
Bernegosiasi memang penting, tetapi negosiasi yang lahir dari tekanan dan intimidasi hanya akan melanggengkan ketimpangan dan memperkuat posisi dominan negara besar seperti Amerika Serikat.
"Ketika sebuah negara menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksa negara lain tunduk melalui tarif sepihak, itu bukan lagi kebijakan dagang itu bentuk perundungan global," tegasnya.
Menurutnya jika dunia diam demi kerja sama yang damai, maka sesungguhnya banyak orang sedang membiarkan ekonomi internasional disandera oleh kepentingan politik yang sewenang-wenang.
"Dalam konteks ini, kita tidak boleh berdamai dengan kekeliruan, perundungan, atau bahkan genosida ekonomi dan sosial yang dilakukan atas nama dominasi geopolitik," sebutnya.
Prinsip keadilan global menuntut agar negara-negara, kata Syafruddin, terutama yang berkembang, berani bersuara dan membangun solidaritas untuk menolak tekanan sepihak, bukan merayunya dengan konsesi. Karena, dunia butuh tatanan yang baru yang dibangun bukan atas dasar ketakutan, tapi keberanian untuk menegakkan keadilan.