Bisnis.com, PADANG — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat secara umum kinerja industri perbankan (Bank Umum dan Bank Perekonomian Rakyat) di Provinsi Sumatra Barat masih terjaga hingga Mei 2024.
Kepala OJK Provinsi Sumbar Roni Nazra mengatakan kinerja sektor jasa keuangan telah turut mendukung pertumbuhan ekonomi Sumbar yang menunjukkan kinerja positif, tercermin dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Triwulan I-2024 (yoy) tercatat sebesar 4,37%.
"Secara umum kinerja untuk industri perbankan masih stabil," katanya dalam keterangan resmi, Selasa (6/8/2024).
Roni menjelaskan kinerja industri perbankan itu dapat dilihat dari kondisi aset perbankan tumbuh 6,94% (yoy) menjadi sebesar Rp81,33 triliun, dan penyaluran kredit/pembiayaan tumbuh 7,17% (yoy) menjadi sebesar Rp70,94 triliun.
Sementara untuk penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 5,82% (yoy) menjadi sebesar Rp55,90 triliun. Sedangkan untuk risiko kredit masih terjaga dengan rasio NPL 2,68%, dan rasio LDR 126,90%.
Selanjutnya penyaluran kredit untuk pelaku UMKM mencapai Rp31,38 triliun, tumbuh sebesar 6,62% (yoy). "Penyaluran kredit kepada pelaku UMKM ini mencapai 44,23% dari total kredit perbankan di Sumbar," jelasnya.
Baca Juga
Kemudian untuk kinerja perbankan syariah, dari sisi aset, DPK dan penyaluran pembiayaan masih menunjukan pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Dimana untuk aset perbankan syariah Sumbar tumbuh sebesar 19,94% (yoy) menjadi sebesar Rp11,04 triliun, dengan penghimpunan DPK meningkat sebesar 20,02% (yoy) menjadi sebesar Rp10,38 triliun, dan penyaluran pembiayaan tumbuh 26,86%(yoy) menjadi sebesar Rp9,46 triliun.
"Risiko pembiayaan juga masih terjaga dengan rasio NPF 1,82%, dan rasio FDR 91,14%. Jadi kinerja perbankan syariah di Sumbar lebih baik dari perbankan konvensional," tegasnya.
Roni menyampaikan melihat kinerja Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Sumbar juga tumbuh dengan baik. Aset tumbuh 7,36% (yoy) menjadi sebesar Rp2,58 triliun, penghimpunan DPK tumbuh 5,78% (yoy) menjadi sebesar Rp1,94 triliun.
Sedangkan penyaluran kredit/pembiayaan tumbuh 9,32% (yoy) menjadi sebesar Rp2,03 triliun, dengan 71,05% merupakan kredit/pembiayaan bagi UMKM.
"Kalau untuk risiko kredit/pembiayaan tercatat dengan rasio NPL/NPF 11,17%, dan rasio LDR/FDR 104,89%," sebutnya. Artinya untuk kondisi NPL/NPF BPR di Sumbar pada posisi Mei 2024 terbilang tinggi menjulang yakni sebesar 11,17%.
Potensi Merger
Terpisah, Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) DPD Sumbar dan Bengkulu menyebutkan akan banyak BPR melakukan merger menyikapi kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal syarat modal inti BPR.
Ketua Perbarindo DPD Sumbar-Bengkulu Syofian Sara mengatakan berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 5 Tahun 2015, OJK meminta kepada BPR dan BPRS untuk segera memenuhi modal inti Rp6 miliar. Melihat kondisi di BPR di Sumbar, akan banyak BPR yang melakukan merger.
"Sesuai aturan OJK itu untuk seluruh BPR diberi waktu hingga 31 Desember 2024 ini. Artinya tahun ini BPR-BPR harus segera mengambil langkah untuk memastikan modal inti tercapai Rp6 miliar," katanya.
Menurutnya ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan untuk bisa memenuhi modal inti Rp6 miliar itu, mulai dari melakukan merger, penambahan modal oleh pemilik BPR, atau menempuh likuidasi.
"Untuk modal inti nya tak sampai Rp6 miliar itu, bila tidak mau merger pula, ya mau tidak mau harus tutup BPR nya. Solusinya merger atau pemilik BPR menambah modal intinya," ujar dia.
Syofian menjelaskan saat total BPR yang ada di Sumbar-Bengkulu 90 unit BPR, yang terdiri dari 82 unit berada di Sumbar dan 8 unit berada di Bengkulu.
Melihat dari kondisi permodalan di BPR Sumbar-Bengkulu itu, ada kemungkinan merger BPR tidak hanya terjadi dari dua BPR menjadi satu BPR, tapi bisa dari lima BPR gabung menjadi satu BPR. "Kalau memang solusinya itu merger, saya rasa ada potensi BPR Sumbar-Bengkulu ini tersisa sekitar 50 unit lagi," sebutnya.
Ada beberapa daerah di Sumbar yang kondisi BPR nya akan sulit mencapai modal inti sebesar Rp6 miliar hingga akhir tahun 2024 ini. "Secara umum bisa dikatakan bagus sebenarnya perkembangan BPR nya, hanya saja untuk memenuhi POJK itu, hampir sebagian besar BPR Sumbar-Bengkulu sulit mencapai nilai modal inti tersebut," ungkapnya.
Di satu sisi, Syofian melihat syarat wajib BPR punya modal inti Rp6 miliar itu, merupakan hal yang bagus untuk dijalankan oleh BPR, karena dengan semakin besarnya modal yang dimiliki BPR, artinya perekonomian di suatu desa tumbuh dengan baik. Karena peran BPR di perdesaan itu hadir memberikan modal usaha bagi masyarakat, yang tujuannya turut berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.
"Tapi kalau modal intinya itu rendah, berarti kondisi BPR lagi kurang baik. Nah kondisi seperti itu, perlu dilakukan merger atau kalau bisa pemilik BPR menambah modalnya," tutup dia. Untuk itu, Syofian berharap BPR segera melakukan upaya memenuhi ketentuan modal inti tersebut.