Bisnis.com, PADANG - Ada sekitar puluhan ribu lahan sawah tadah hujan di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatra Barat masih belum berani untuk memulai masa tanam.
Menurut salah seorang petani di Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Wido, hampir 5 bulan ini petani yang ada di wilayah Sutera khususnya belum berani untuk memulai masa tanam, karena terdapat ribuan hektare lahan sawah di daerah itu dari sebelumnya mempunyai irigasi, kini beralih menjadi lahan sawah tadah hujan.
"Irigasi ada, cuma tidak bisa mengaliri air, bahkan kondisi irigasi utama saat ini sudah dipenuhi semak belukar, banyak sampah-sampah plastik juga. Air sudah lama tidak mengalir," katanya, Senin (15/7/2024).
Dengan adanya kondisi itu, membuat lahan sawah di kawasan tersebut menjadi kawasan pertanian sawah tadah hujan. Namun di satu sisi kondisi cuaca di daerah Sutera tidak menentu, terkadang hujan, dan terkadang cuaca berlangsung kering.
"Hujan ada turun, cuma sebentar. Lebih lama cuaca panasnya. Kalau kondisi seperti itu, sawah kami tidak bisa dapat air," ujarnya.
Wido menceritakan biasanya sewaktu irigasi lagi bagusnya, kawasan pertanian padi di daerah itu bisa menjalani masa panen 3 kali hingga 4 kali dalam setahun.
Baca Juga
Sedangkan dalam kondisi irigasi tidak lagi mengaliri air ke sawah, masa tanam hanya bisa dilalui selama dua kali dalam satu tahun. Artinya ada satu semester lamanya sawah-sawah yang ada itu terpaksa tidur.
"Kalau kami siap-siap saja untuk memaksimalkan masa panen. Karena memang biasanya begitu. Hidup petani ini, harus lebih gesit produksi padinya. Sementara kondisi saat ini, memaksa kami untuk berpikir untuk mendapatkan sumber air," ungkapnya.
Diakuinya kondisi soal tidak berfungsinya irigasi itu, telah disampaikan ke pemerintah desa setempat, dan bahkan telah dilakukan gotong royong bersama, namun upaya tersebut belum maksimal.
"Jadi lumpur di dalam irigasi itu sudah tebal sekali, akibat lama mengering. Padahal dari hulunya terlihat air masih mengalir. Solusinya harus ada alat berat untuk mengeruk lumpur yang tebal itu, maka kemungkinan besar air bisa mengalir kembali," jelasnya.
Untuk itu, petani berharap agar pemerintah lebih sering lagi melakukan pemantauan di lapangan, sehingga bisa lebih mengetahui kondisi yang dihadapi petani.
"Jadi tanpa kami harus melapor pun, pemerintah daerah sudah tahu, sehingga bisa sama-sama cari solusinya," sebutnya.
Konsen Pembangunan Irigasi hingga 2025
Terpisah, Gubernur Sumbar Mahyeldi mengatakan pembangunan irigasi memang menjadi salah satu konsen pemerintah daerah, karena memang cukup luas lahan sawah tadah hujan yang ada di sejumlah wilayah.
Bahkan untuk daerah terdampak bencana alam pun, menjadi perhatian serius pemerintah daerah, agar kondisi pertanian di Sumbar kembali pulih, sehingga produksi padi pun bisa meningkat.
"Tahun 2024 ini ada dari Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR yang akan bantu membangun irigasi khususnya terdampak bencana alam," ujarnya.
Begitupun daerah lainnya yang kini masih membutuhkan adanya pembangunan irigasi, akan tiba giliran melakukan pembangunannya.
Menurutnya sesuai dengan rencana Pemprov Sumbar bahwa hingga tahun 2025 mendatang akan terus berupaya membangun irigasi, sehingga lahan sawah tadah hujan di Sumbar terus berkurang, dengan demikian produksi pun bisa meningkat.
"Jika air nya, saya percaya petani akan memaksimalkan lahan yang ada. Jadi produksi pun bisa meningkat. Makanya untuk irigasi ini jadi salah satu konsen kami untuk mendukung infrastruktur pertanian," tegas Mahyeldi.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Sumbar Ferdinal Asmin menambahkan untuk luas lahan sawah tadah hujan di Sumbar diperkirakan mencapai 30.000 hektar.
Lahan sawah tadah hujan itu sejumlah daerah, dan Kabupaten Pesisir Selatan merupakan daerah yang paling luas sawah tadah hujannya, setelah itu tersebar di Solok dan Pasaman.
Menurutnya adanya sawah tadah hujan itu karena cukup luasnya sawah yang berada di perbukitan, dan kawasan yang benar-benar tidak memiliki irigasi yang memadai untuk pengairan.
Dia menyebutkan sawah tadah hujan itu bisa dikatakan hanya bisa digarap dua kali dalam satu tahun. Pertama menjelang akhir tahun dan kedua di saat awal tahun. Karena dua momen itu Sumbar dominan dilanda hujan.
Biasanya setelah panen di awal tahun itu, petani kembali turun ke sawah untuk membajak sawah kembali. Hal tersebut dilakukan agar musim hujan masih bertemu oleh petani.
"Bila memasuki musim kemarau, sawah tadah hujan itu tidak bisa apa-apain. Ada yang bertanam jagung, cuma hanya sebagian kecilnya saja," jelasnya.
Dia menyebutkan bila 30.000 hektar itu panen dengan kondisi yang baik, maka produksinya diperkirakan mencapai 120 ribu ton.
Dimana per hektar nya itu produksi padi dihitung rata-rata sebanyak 4 ton padi. Adanya produksi padi dari sawah tadah hujan itu, memberikan peran dalam target padi di Sumbar.
"Di Sumbar secara keseluruhan luas lahan sawah mencapai 215.000 hektar. Produksi padi di Sumbar sebagian besar adalah beras premium," ucap Ferdinal.
Diakuinya bahwa Sumbar merupakan daerah penghasil beras premium dengan produksi rata-rata 1,4 juta ton per tahun.Sumbar.
Sementara untuk kebutuhan beras bagi masyarakat Sumbar diperkirakan 850.000 ton hingga 950.000 ton per tahun. Sedangkan sisanya dijual ke provinsi tetangga seperti Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan DKI Jakarta.