Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Imbas Konflik Laut Merah, Delay Pengiriman dan Kenaikan Ongkos Logistik di Batam

Sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di Indonesia bagian barat, Batam sangat berorientasi ekspor-impor untuk menggerakkan perekonomiannya.
Aktivitas di Pelabuhan Batam
Aktivitas di Pelabuhan Batam

Bisnis.com, BATAM - Perang Amerika-Inggris melawan Milisi Houthi di Laut Merah tampaknya akan mengganggu perputaran roda perekonomian di Batam, jika terus berlangsung dalam jangka panjang.

Sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) di Indonesia bagian barat, Batam sangat berorientasi ekspor-impor untuk menggerakkan perekonomiannya. Adapun sektor penopang utamanya yakni industri pengolahan, yang membuat Batam menjadi kontributor ekspor utama dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

"Perang Houthi di Laut Merah sebabkan delay pengiriman ekspor dan impor dari dan ke Batam. Dari laporan yang saya terima, ada keterlambatan 15-20 hari," kata Ketua Bidang KPBPB Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia Tjaw Hioeng, Selasa (23/1/2024).

Jalur ekspor-impor utama Asia, termasuk Batam yang melewati Selat Malaka juga melewati Laut Merah, lalu memasuki Terusan Suez di Mesir, dan setelah itu menuju Eropa dan Amerika.

"Karena ada Perang Houthi, jalur ekspor ini berputar melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Dari yang awalnya 18.500 kilometer (km) dari Laut Merah, menjadi lebih dari 20.000 km kalau memutari Afrika. Karena itu banyak terjadi keterlambatan pengiriman barang sekarang ini," jelasnya.

Tjaw mengungkapkan sejumlah perusahaan di Batam sudah mulai mengeluhkan persoalan delay ini. Selain terlambat, ongkos logistik juga ikut naik, karena kapal kontainer harus berlayar lebih jauh lagi memutari Afrika.

"Kalau satu telat, maka yang lain akan telat. Ongkos kontainer juga naik. Jadi yang sampai ke Batam, otomatis harga bahan baku impor juga naik. Ini jadi problem utama Batam yang merupakan bagian dari logistic supply chain," paparnya.

Persoalan keterlambatan pengiriman barang dari Batam, juga akan diiringi oleh keterbatasan bahan baku impor untuk produksi industri manufaktur.

"Batam ini tidak punya industri front end yang mampu memproduksi bahan baku sendiri. Untuk bahan baku industri, Batam masih mengandalkan impor. Jadi jika kegiatan logistik berjalan lambat dan ada delay, maka kegiatan operasional industri di Batam bisa terganggu," ungkapnya.

Menurut Tjaw, persoalan ini masih tahap awal, tapi jika terus berlanjut maka akan menjadi sinyal darurat bagi Batam. "Perang ini sudah mulai sejak 10 Januari 2024 lalu, jika terus berlarut maka bisa bahaya. Jadi harus dipikirkan solusinya," katanya lagi.

Ia menegaskan Batam ini merupakan zona ekspor-impor, jadi jika ada persoalan global terjadi, maka Batam akan terkena dampaknya.

"Karena Batam berorientasi ekspor luar negeri. Batam itu tidak ada ekspor ke dalam negeri. Sebagai solusi, sebenarnya Batam harus menciptakan ekosistem baru, yang mendukung pengembangan industri front end," tegasnyna.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam Rafki Rasyid mengatakan setiap persoalan global yang terjadi, juga akan berdampak pada Batam.

"Perang Houthi pasti berdampak pada tingginya ongkos angkut logistik. Pengiriman sudah pasti terlambat ditambah ongkos malah, maka konsumen luar negeri jadi mengurangi pesanannya di Batam," katanya.

Menurut Rafki, persoalan Laut Merah harus menjadi perhatian utama pemangku kepentingan di Kepri. "Dampaknya jika eskalasinya terus meningkat, maka akan cukup serius buat Batam. Batam itu orientasinya ekspor, kalau pasar global bergejolak, maka permintaan akan melambat, dan itu bisa ancaman untuk pertumbuhan ekonomi di Batam," pungkasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, negara tujuan ekspor nonmigas utama Kepri sepanjang 2023 yakni Singapura (US$4.391,22 juta), Amerika (US$3.508,10 juta), Tiongkok (US$992,25 juta), Jepang (US$557,62 juta), Qatar (US$531,20 juta), India (US$486,28 juta), Australia (US$380,41 juta), Inggris (US$304 juta), Jerman (US$267,49 juta), dan Prancis (US$257,02).

Sementara untuk kegiatan impor sepanjang 2023, mitra utama Kepri yakni Tiongkok (US$4.259,04 juta), Singapura (US$2.195,55 juta), Jepang (US$1.171,46 juta), Taiwan (US$1.042,42 juta), Jerman (US$799,75 juta), Korea Selatan (US$718,54 juta), Malaysia (US$657,55 juta), Philipina (US$527,04 juta), Italia (US$387,81 juta), dan Amerika (US$350,36 juta).

Selanjutnya barang non migas yang diimpor Kepri sepanjang 2023 yakni mesin/peralatan listrik (US$6.159,66 juta), mesin-mesin/pesawat mekanik (US$2.170,83 juta), benda-benda dari besi dan baja (US$1.692,96 juta), besi dan baja (US$1.044,66), dan plastik dan barang dari plastik (US$651,64 juta).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler