Bisnis.com, PADANG - Pengelolaan perhutanan sosial di Provinsi Sumatra Barat telah mencapai 242.000 hektare hingga 2022 ini yang tersebar di sejumlah daerah.
Pemanfaatan hutan yang dikelola oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) ini, bukan bermaksud merusak hutan, melainkan menerapkan konsep green ekonomic, yang artinya hutan tetap terjaga dan manfaat dari keberadaan hutan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat.
Kendati ada aturan dan tata cara pengelolaan, pengawasan tetap dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar.
Terkait hal itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi pada Sabtu (15/10) kemarin telah meresmikan peluncuran Sistem Informasi Perhutanan Sosial (SIP) seiring digelarnya Festival Perhutanan Sosial di Kelurahan Lambuang Bukik, Kecamatan Pauh, Kota Padang.
"Kemarin telah kita resmikan SIP. Jadi SIP ini merupakan sistem digital atau layanan informasi berbasis web untuk mendukung peningkatan potensi perhutanan sosial," katanya, Minggu (16/10/2022).
Mahyeldi menjelaskan pada SIP itu nantinya akan terkumpul data seluruh perhutanan sosial di Sumbar. Sehingga masyarakat bisa mengetahui peta batas perhutanan sosial.
"Jadi masyarakat bisa lihat di sana, mana batas hutan yang bisa dikelola, dan kita juga bisa tahu potensi nya apa saja," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi, juga mengatakan, 242.000 hektare perhutanan sosial itu dapat digarap untuk menunjang perekonomian masyarakat.
Menurutnya keberadaan perhutanan sosial sangat jitu untuk perekonomian di pedesaan. Artinya Keberadaan dari program Reforma Agraria melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu, bisa menjadi salah satu solusi pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Seperti halnya yang ada di daerah Padang Janih, merupakan tempat digelarnya Festival Perhutanan Sosial, terdapat areal perhutanan sosial seluas 70 hektare yang mayoritas ditanami durian oleh masyarakat.
"Memiliki 70 hektare lahan dengan 37 jenis durian, potensinya tidak sedikit itu. Nah ini lah kita harapkan, silahkan dikelola hutannya, tapi hutannya harus tetap dijaga," tegasnya.
Yozarwardi menjelaskan dalam pengelolaan perhutanan sosial itu, ada ketentuan yang perlu dipahami oleh masyarakat yakni diarahkan untuk menanami pohon berkayu minimal 50 persen dari luas areanya, dan sisanya ditanam dengan tanaman semusim seperti jagung, kedelai, padi hutan, kopi, buah-buahan dan komoditas lainnya dalam pola agroforestry.
Selain itu, dapat dikembangkan juga usaha silvopasture (usaha ternak) dan silvofishery usaha perikanan di mangrove. Serta juga bisa dijadikan tempat ekowisata.
Kini dengan telah adanya program Perhutanan Sosial itu, maka dapat dikatakan sebuah jalan bagi masyarakat untuk bisa mengelolah hutan secara legal, serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebab, dengan adanya program Perhutanan Sosial itu, pemerintah melalui KLHK memberikan akses kepada masyarakat untuk oleh KUPS.
Diakuinya selama ini memang pemerintah menentang keras bagi masyarakat yang mengelola hutan, terutama bagi hutan lindung dan hutan produksi.
Namun dengan adanya konsep perhutanan sosial, masyarakat pun mendapat akses, dan perlu mematuhi beberapa ketentuan. Karena pengelolahan perhutanan sosialnya diberi akses selama 35 tahun.
Dalam rentang waktu itu, kepada masyarakat yang mengelolah hutan, diberi akses, tapi bukan untuk menjual lahan yang dikelola, karena sifat pengelolaannya itu negara meminjamkan.
"Tapi menjual hasil pengolahannya itu boleh. Karena harapan kita baik di Dishut maupun dari KLHK, ekonomi masyarakat di kawasan hutan tumbuh, serta terciptanya hutan yang terjaga," sebut Yozarwardi.
Seperti untuk hutan lindung, meski diberi akses untuk dikelola, tapi masyarakat dilarang menebang kayu. Lalu di hutan produksi juga diberi akses dan bolehkan menebang kayu, tapi harus dilakukan penanaman dulu.
Akses yang diberikan itu yakni memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan pemanfaatan kawasan.
Untuk pemanfaatan hutan bukan kayu dimaksud seperti boleh menikmati panen durian, jengkol, petani, gaharu, dan lain sebagainya.
Lalu untuk jasa lingkungan, dalam hal ini yang dimaksud adalah menjadikan kawasan hutan sebuah ekowisata dan pemanfaatan air, yaitu air terjunnya, keindahan alamnya, dan hal lainnya. Begitu pun pemanfaatan kawasan, seperti membuka usaha peternakan.
"Jadi konsep dari pengelolaan perhutanan sosial ini adalah green economic. Artinya, hutan tetap terlihat hijau dan asri, tanpa merusak lingkungan dan tanaman lainnya. Namun bisa dikelola, dan bisa menghasilkan nilai ekonomi bagi masyarakat," ujarnya.
Menurutnya hadirnya program perhutanan sosial itu, selain mengajak dan mengedukasi masyarakat untuk menjaga dan melindungi hutan, juga bisa memberikan dampak ekonomi yang bagus.