Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kolaborasi Perantau Minang Dirikan Pabrik Sabut Kelapa Kualitas Ekspor

Kolaborasi perantau Minang yang mendirikan sebuah pabrik sabut kelapa di Nagari/Desa Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, turut memberikan lapangan pekerjaan serta keuntungan yang menggiurkan.
Seorang pekerja tengah menjemur sabut kelapa yang di produksi oleh Koperasi Sabut Kelapa (Kosapa) Petani Minang Global di Nagari/Desa Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, Rabu (23/3/2022). Hasil produksi pabrik sabut kelapa yang berdiri pada November 2021 ini di ekspor ke China dengan jumlah ekspor rata-rata per bulan sebanyak 50 ton cocofiber dan 100 ton cocopeat. /Bisnis-Noli Hendra
Seorang pekerja tengah menjemur sabut kelapa yang di produksi oleh Koperasi Sabut Kelapa (Kosapa) Petani Minang Global di Nagari/Desa Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, Rabu (23/3/2022). Hasil produksi pabrik sabut kelapa yang berdiri pada November 2021 ini di ekspor ke China dengan jumlah ekspor rata-rata per bulan sebanyak 50 ton cocofiber dan 100 ton cocopeat. /Bisnis-Noli Hendra

Bisnis.com, PADANG - Kolaborasi perantau Minang yang mendirikan sebuah pabrik sabut kelapa di Nagari/Desa Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, turut memberikan lapangan pekerjaan serta keuntungan yang menggiurkan.

Padahal bahan bakunya terbilang limbah dari sabut kelapa, tapi dengan melalui tahapan proses, pabrik tersebut mampu mengubah limbah sabut kelapa menjadi dolar.

Salah satu pendiri usaha itu, Hargianto, mengatakan, berdirinya pabrik sabut kelapa tersebut berawal dari rasa peduli para perantau terhadap kampung halaman.

"Usaha sabut kelapa ini didirikan dalam bentuk koperasi yang dikenal dengan Koperasi Sabut Kelapa (Kosapa) Petani Minang Global. Ada 15 orang perantau yang tergabung dalam koperasi itu," katanya, Jumat (25/3/2022).

Dia menyebutkan adapun perantau yang turut terlibat itu diantaranya Fasli Jalal, Efli Ramli, serta sejumlah perantau lainnya, yang terdiri dari pengusaha, akademisi, dan pensiunan.

Menurutnya munculnya ide para perantau untuk mendirikan Kosapa itu, karena di Sumbar memiliki perkebunan kelapa yang cukup luas, bahkan tumbuh dengan baik di sepanjang pantai pesisir Sumbar.

Seperti di Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, Pariaman, Pesisir Selatan, Kepulauan Mentawai, dan Kota Padang. Daerah-daerah itu memiliki perkebunan kelapa yang tumbuh disepanjang pantai pesisir Sumbar.

"Kita pilih di Ulakan, Padang Pariaman ini, karena paling luas perkebunannya dan banyak bahan baku sabut kelapanya. Sehingga dinilai sangat potensi untuk didirikan pabraik sabut kelapa tersebut," ujarnya.

Buktinya Kosapa Petani Minang Global mampu untuk memproduksi sabut kelapa sebanyak 50 ton cocofiber dan 100 ton cocopeat per bulannya. Seluruh produksi dikirim ke pengepul di daerah Lampung dan dilanjutkan ekspor ke China.

Dia menyebutkan kedepan pabrik tersebut tentu ditargetkan terus berkembang, baik dari sisi produksi maupun rencana membuat unit usaha semacam kerajinan dari bahan sabut kelapa.

"Wali Kota Pariaman telah meminta kepada kita untuk mendirikan pula pabrik sabut kelapa. Kita tentu menyambut dengan baik, cuma untuk saat ini belum bisa kita garap, karena harus dikuatkan dulu pabrik yang ada saat ini," ujarnya.

Dia menjelaskan untuk mendirikan usaha pabrik kelapa itu modalnya tidak sampai Rp1 miliar. Asalkan ada lahan yang luas tersedia, maka sudah bisa untuk mendirikan kawasan pabrik.

"Bicara omzet belum begitu besar, ya untung tipis, karena sistemnya bagi hasil dari 15 orang serta upah pekerja," sebut dia.

Pensiunan TNI AL di Lantamal II Padang Laksma TNI (Purn) Hargianto ini mengakui bahwa semenjak berdirinya usaha tersebut rata-rata per bulan omset yang diperoleh mencapai Rp75 juta. Bila dihitung dengan biaya upah pekerja, penghasilan bersih rata-rata per bulannya di sekitar Rp50 juta.

"Kosapa Petani Minang Global resmi berdiri pada November 2021 lalu. Artinya hingga kini baru berjalan beberapa bulan. Tapi soal penjualan memang terbilang menjanjikan, hanya saja kendala saat ini adalah pekerja," ungkapnya.

Menurutnya bila melihat pada permintaan pasar terhadap sabut kelapa ini bisa mencapai jutaan ton per bulannya. Tapi khusus di Kosapa di Ulakan itu, hanya mampu memproduksi sabut kelapa sebanyak 50 ton cocofiber dan 100 ton cocopeat per bulannya.

Jumlah itu masih terbilang sedikit, padahal bahan baku yakni sabut kelapa terbilang melimpah, kendati di wilayah yang sama masih ada 3 usaha yang sama.

"Pekerja tidak banyak, akibatnya produksi pun tidak bisa dipaksakan. Rencana kita memang mau mendatangkan tenaga kerja luar dari Padang Pariaman, cuma kita masih mempertimbangkan itu, karena kita ingin yang jadi pekerja adalah masyarakat sekitar," katanya lagi.

"Tidak hanya kita yang sebenarnya menjalankan usaha ini. Tapi ada 4 titik lainnya, 3 di Padang Pariaman dan 1 lagi di Kabupaten Pesisir Selatan. Tapi kita para perantau ini mendirikan usaha ini atas dasar ingin membantu masyarakat sekitar," sebutnya.

Dikatakannya dengan adanya Kosapa itu, banyak menyerap tenaga kerja masyarakat sekitar, yang kebanyakan terdiri dari para ibu-ibu.

"Kenapa banyak ibu-ibu, karena proses untuk penjemuran itu banyak dilakoni oleh ibu-ibu. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga, yang mencari upah di pabrik sabut kelapa. Ini lah yang kita maksud, telah memberikan manfaat hadirnya pabrik tersebut," ungkapnya.

Sementara itu, Manager Pabrik Kosapa Petani Minang Global Roni menambahkan dalam menjalankan usaha tersebut kendala yang dihadapi bukan soal bahan baku, melainkan soal cuaca.

Dia menjelaskan dengan kondisi cuaca yang tidak selalu panas dari Januari-Desember, maka dari 12 bulan itu, hanya sekitar 7 bulan yang bisa memproduksi sabut kelapa.

"Jadi kita hitung-hitung, 3 bulan itu musim hujan. Kalau sudah musim hujan, pabrik terhenti dulu. Akibatnya selama 3 bulan pula omzet menghilang," ujar dia.

Namun bicara bahan baku, hampir dikatakan tidak ada persoalan. Karena setiap harinya itu ada warga yang menjual sabut kelapanya ke pabrik. Baik itu ibu-ibu sekitaran, maupun dalam bentuk jumlah yang banyak.

"Sabut kelapa yang kita beli itu bukan yang tua dan bukan pula yang terlalu muda. Tapi yang kondisi kulit setengah tua. Karena kondisi sabut kelapa setengah tua lebih bagus dan kuat," jelasnya.

Harga untuk kondisi sabut kelapa yang demikian untuk per kubik di sekitar Rp15.000. "Nah ini juga menjadi salah manfaat bagi masyarakat, sabut kelapa di rumah juga bisa dijual ke pabrik," sebutnya.

Roni melihat semenjak berdirinya pabrik tersebut di kawasan Ulakan, sabut kelapa seakan berarti bagi masyarakat. Karena dari dulu yang dibiarkan terbuang, kini bisa dijual dengan nilai yang dapat membantu kebutuhan dapur.

"Rp15.000 itu untuk satu kubik, bila-bila ibu itu bisa menjual 5 kubik, bisa dapat Rp75.000. Jumlah itu sangat membantu untuk membeli kebutuhan dapur," kata dia.

Kini keberadaan pabrik tersebut seakan menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya dinilai menguntungkan bagi pabrik, tapi juga sangat bermanfaat bagi masyarakat, tidak hanya soal lapangan kerja, tapi juga menjadi salah satu sumber penambahan pemasukan warga. (k56)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Noli Hendra
Editor : Ajijah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper