Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sumut Butuh Peningkatan Luas Tanam Bawang dan Kedelai

Hingga Oktober 2021, produksi tiga komoditas strategis belum memenuhi target kebutuhan di Sumatra Utara. Ketiganya adalah bawang merah, bawang putih dan kedelai.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, MEDAN - Pelaksana Tugas Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemprov Sumatra Utara Baharuddin Siregar mengungkap bahwa provinsi ini butuh peningkatan luas tanam untuk komoditas bawang dan kedelai.

Apalagi hingga Oktober 2021, jumlah produksi tiga komoditas strategis belum memenuhi target kebutuhan Sumatra Utara.

Tak cuma luas tanam, menurut Baharuddin, Sumatra Utara juga butuh peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pertanian.

"Untuk bawang merah, bawang putih dan kedelai sangat perlu peningkatan luas tanam dan peningkatan SDM petani," kata Baharuddin kepada Bisnis, Minggu (5/12/2021).

Hingga Oktober 2021, produksi tiga komoditas strategis belum memenuhi target kebutuhan di Sumatra Utara. Ketiganya adalah bawang merah, bawang putih dan kedelai.

Menurut Baharuddin, data teranyar akan diperbaharui pada Maret 2022 mendatang.

"Ya. Itu data masih di Bulan September atau Oktober 2021. Nanti di Bulan Maret 2022 baru update," katanya.

Berdasarkan data yang diperoleh, produksi umbi kering bawang merah berjumlah 27.000 ton hingga Oktober 2021. Sedangkan jumlah kebutuhan tercatat sekitar 38.000 ton. Sehingga terdapat kekurangan sekitar 11.000 ton.

Untuk bawang putih, kebutuhan yang tercatat berjumlah sekitar 24.000 ton. Sedangkan produksi hingga Oktober 2021 berjumlah 794 ton. Sehingga terdapat kekurangan sekitar 23.000 ton lagi.

Begitu pun dengan kedelai. Jumlah kebutuhan sekitar 146.000 ton. Sehingga produksi hanya 545 ton. Oleh karena itu, kekurangannya mencapai lebih dari 99 persen.

Walau produksi tiga komoditas pangan di atas belum memenuhi target kebutuhan, terdapat komoditas lain yang justru melebihi target.

Untuk beras, kebutuhan Sumatra Utara tercatat sebanyak 1,5 juta ton. Hingga Oktober 2021, produksi terdapat surplus produksi sebanyak 316.000 ton.

Begitu juga dengan jagung. Kebutuhan yang tercatat sekitar 1,3 juta ton. Pada periode yang sama, tercatat surplus produksi sebanyak 6.000 ton.

Sedangkan untuk cabai merah, kebutuhan yang tercatat sebanyak 103.000 ton. Hingga Oktober 2021, terdapat surplus sebesar 11.000 ton.

Pada Rapat Koordinasi Provinsi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumatra Utara 2021 di Medan, Selasa (30/11/2021), Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumatra Utara Soekowardojo menjelaskan bahwa tingkat inflasi di Sumatra Utara relatif terjaga pada sasaran nasional dengan potensi bias bawah hingga akhir 2021.

Secara historis, perkembangan inflasi provinsi ini cenderung di bawah sasaran inflasi nasional kurun dua tahun belakangan atau saat pandemi Covid-19 melanda.

Komponen core inflation lebih rendah dibanding kondisi normal. Di samping itu, komponen volatile food relatif terjaga.

Dari sisi perkembangan harga, Sumatra Utara mengalami deflasi -0,06 persen (mtm) atau 0,77 persen (ytd) dan 1,86 persen (yoy). Realisasi tersebut di bawah inflasi nasional sebesar 0,12 persen (mtm) dan juga di bawah inflasi Sumatra sebesar 0,17 persen (mtm).

"Adapun sumber deflasi di Sumatra Utara terutama berasal dari kelompok makanan, minuman dan tembakau," kata Soeko.

Secara tahunan, inflasi Sumatra Utara terkini rata-rata tercatat lebih rendah 2,09 persen (yoy) kurun tiga tahun terakhir. Menurut Soeko, andil inflasi bahan makanan terpantau relatif stabil dan masih dalam rentang sasaran nasional. Adapun penurunan tekanan inflasi didorong oleh penurunan komoditas cabai merah, emas perhiasan dan bawang merah.

Secara umum, kelompok bahan makanan yang masih terus menjadi faktor pendorong utama fluktuasi inflasi maupun deflasi di Sumatra Utara adalah cabai merah, cabai rawit, daging ayam ras, minyak goreng dan bawang merah.

Khusus minyak goreng, belakangan ini mengalami kenaikan harga signifikan seiring harga minyak mentah atau Crude Palm Oil (CPO) global yang semakin mahal.

"Di sisi lain, tingginya harga minyak goreng menjadi faktor penahan penurunan laju inflasi lebih dalam. Tren kenaikan CPO global yang masih berlanjut menjadi pemicu utama kenaikan harga minyak goreng," kata Soeko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper