Bisnis.com, PEKANBARU - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau mengharapkan dilibatkannya daerah dalam proses verifikasi usulan Perhutanan Sosial (PS) dari kelompok tani hutan (KTH) yang menjadi program Presiden Joko Widodo.
Kadis DLHK Riau Maamun Murod, menyampaikan hal tersebut usai menggelar Rapat bersama Analis Fungsional Kebijakan Ditjen PSKL pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, A. Rachman dan Kepala Balai Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Medan, Apri. Rapat ini dalam upaya percepatan implementasi pelaksanaan perhutanan sosial seluas 1,2 juta hektar di Provinsi Riau.
Menurut Murod, dalam aturan permohonan PS saat ini, semua verifikasi dan keputusan disetujui atau tidaknya usulan PS dari KTH ada di tangan KLHK. Sementara, DLHK di daerah hanya sebagai pendamping saja.
"Kami dilibatkan itu hanya sebatas tahapan Pertimbangan Teknis saja. Hanya sebatas itu saja," sebut Murod, Jumat (23/4/2021)
Apalagi lanjutnya, Pertek itu bisa diterbitkan setelah pemohon dinyatakan lulus verifikasi dan administrasi di KLHK. Seharusnya, usulan PS itu dimulai dari DLHK masing-masing provinsi.
"Kami bukan menyalahkan Kementerian, cuma kami ingin masyarakat paham bahwa PS itu cepat prosesnya. Tetapi penentunya bukan di kami, melainkan di pusat yaitu KLHK," ujarnya.
Baca Juga
Padahal lanjut Murod, selama ini terkait perizinan pengelolaan hutan lainnya seperti HTI, HPA, Restorasi Ekosistem dan lainnya, prosesnya harus mendapatkan rekomendasi dari Gubernur selaku kepala daerah. Izin dari gubernur itu diterbitkan melalui Dinas DPM-PTSP Riau, setelah adanya review awal dari Dinas DLHK.
"Harapan saya, ada penyempurnaan aturan tentang PS itu. Supaya PS ini berjalan terstruktur, sebaiknya prosesnya itu diawali dari daerah dulu," harapnya.
Kemudian kata Murod, DLHK akan menindaklanjuti usulan PS KTH itu KLHK. Sehingga tidak semua pemohon PS dapat mengajukan usulannya langsung ke KLHK.
Murod menambahkan, dengan adanya keterlibatan daerah dalam proses usulan PS itu, tentu akan meminimalisir terjadinya permasalahan di lapangan. Misalnya, terjadi tumpang-tindih perizinan di lahan milik aset pemerintah daerah maupun desa.
"Sebaiknya aturan PS itu melibatkan daerah, karena ini adalah wilayah kami. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih misalnya kebun karet yang masuk hutan desa atau aset pemerintah daerah," paparnya.
Selain itu sebut Murod, ada KTH yang mengajukan PS itu ternyata belum terdaftar atau teregistrasi. Sehingga dikhawatirkan, ada dua KTH yang mengajukan PS di lahan yang sama.
Apabila DLHK Riau dilibatkan dalam permohonan PS itu sejak awal, tumpang tindih itu tidak akan terjadi. Karena pihaknya akan melakukan verifikasi terhadap lokasi, sehingga ada peta dalam Arjisnya.
"Begitu ada pemohon lain, kami bisa menjelaskan kalau lokasi ini sudah ada pemohonnya. Jadi tidak akan terjadi tumpang-tindih," ujarnya.
Sejauh ini kata Murod, dari 1,2 juta hektare luasan PS di Provinsi Riau, baru sekitar 120.000 hektar yang terimplementasi di lapangan dengan 79 KTH selaku pemohon.
Bahkan, dari 79 permohonan PS KTH itu, hanya beberapa saja yang masih beroperasi. Karena beberapa lokasi PS ada yang ditinggalkan begitu saja oleh KTH akibat tidak adanya pendamping dari dinas atau NGO Perhutanan.
"Mereka hanya sebatas mendapatkan izin saja. Setelah itu karena tidak ada pendamping, lokasinya ditinggalkan begitu saja," ujarnya.
Kondisi ini menurut Murod tentu menjadi masalah baru, karena kawasan hutan yang telah diberikan izin PS kepada KTH itu tidak termanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, keterlibatan DLHK dalam proses verifikasi perohonan PS itu dinilai sangat penting.