Bisnis.com, PALEMBANG - Idealisme Djunaedi, 71 tahun, untuk membuka lapangan kerja alih-alih menjadi pekerja selepas kuliah sukses membawanya menjadi pelaku IKM dengan produk kerajinan tangan menembus pasar ekspor.
Produk rumah tangga berupa karpet, keset kaki hingga seperangkat tatakan meja (table mat) yang diproduksi asli Palembang itu dipasarkan ke sejumlah negara, terutama Amerika Serikat, Belgia, Inggris, Turki, dan Malaysia.
Bahkan, tak tanggung, Djunaedi mampu memanfaatkan bahan baku impor berupa serat pohon pisang (abaca fiber) untuk menjadi karpet yang laris-manis di pasar mancanegara.
“Saya terlampau idealis,waktu kuliah selalu mikir habis lulus gak mau kerja tapi kasih pekerjaan buat orang lain,” kata pria yang bergelar sarjana Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Selasa (22/9/2020).
Para pekerja CV Natural, mayoritas perempuan, tampak sibuk dengan alat kerja masing-masing. Tangan mereka tak henti menganyam abaca fiber yang sudah menjadi benang di alat tenun bukan mesin (ATBM).
Ada sekitar 40 unit ATBM yang berjejer rapi di workshop CV Natural yang terletak di Jalan Sukarela, Kota Palembang. ATBM tersebut merupakan satu dari sekian peralatan utama dalam proses pembuatan kerajinan karpet.
Sebelum dianyam, serat abaca tersebut dipintal dahulu di ujung ruangan workshop oleh belasan pekerja lainnya. Semua alat yang tersaji di workshop CV Natural tampak sederhana, palu, paku, lem dan tak terdengar deru mesin. Wajar jika, untuk membuat satu lembar karpet, butuh waktu sekitar 2 minggu.
“Ada sekitar 200 tenaga kerja di sini dan memang kebanyakan perempuan. Ada juga laki-laki untuk kerja yang agak berat,” kata Djunaedi yang juga memberdayakan lebih dari 400 orang di luar pabrik untuk proses pembuatan bahan baku tersebut.
Mengawali usahanya pada tahun 2000, Djunaedi memang sudah bertekad untuk menembus pasar ekspor. Pemilik CV Natural itu mulanya mengolah rotan mentah untuk dijual langsung ke Jepang.
Kala itu, Djunaedi menilai bahwa bisnis rotan mentah tidak perlu banyak modal, biaya murah dan pasar tujuan sudah tersedia.
“Namun seiring berjalan waktu, usaha rotan semakin sulit karena pemerintah menerbitkan regulasi ekspor rotan harus barang jadi. Pelaku usaha mesti investasi mesin untuk itu,” katanya.
Belum lagi, kata dia, ekspor tikar rotan alias lampit sudah banjir. Pelaku usaha di Kalimantan memproduksi lampit secara massal dan kini produk rotan yang dianggap barang mewah terkesan jadi barang murah.
Persaingan pasar dan tuntutan regulasi tak menghentikan langkah Djunaedi untuk memproduksi produk kerajinan berorientasi ekspor.
Kemudian pilihan jatuh pada produk karpet kayu (wooden carpet) berbahan baku kayu lokal, seperti jelutung dan akasia. Djunaedi mantap memproduksi wooden carpet apalagi dirinya sudah punya pembeli tetap di Korea Selatan. Dalam sebulan ia bisa mengirim 4 kontainer ke Negeri Gingseng tersebut.
“Namun sayangnya, pasar kami di Korsel berubah seiring lifestyle masyarakat di sana yang tidur pakai kasur elektrik, gak lagi pakai wooden carpet sebagai alas,” katanya.
Perubahan kebutuhan konsumen itu menuntut Djunaedi putar otak. Ia pun mulai menggali potensi pasar di negara-negara lain. Cara yang paling efektif untuk pemasaran, kata dia, melalui pameran.
Dalam setahun, CV Natural bisa mengikuti 3 pameran internasional. Seringkali Djunaedi digandeng pemerintah pusat untuk mengikuti pameran tunggal di sejumlah negara. Bahkan pemerintah negara asal, seperti Swiss dan Belanda pun pernah mengundang Djunaedi untuk memamerkan produknya.
“Dari perubahan pasar di Korsel saya coba bikin variasi produk, tidak cuma karpet ukuran besar tapi bentuk-bentuk kecil, makanya saya buat alas piring, alas cangkir, alas wajan. Saya harus menyesuaikan kebutuhan pasar,” katanya.
Penjualan CV Natural pun meluas. Djunaedi mengaku omset industrinya bisa mencapai US$60.000 atau sekitar Rp880 juta per bulan. Nilai omset tersebut merupakan kondisi normal lantaran sekarang permintaan pasar terhadap produknya pun berkurang sehingga omzet turun 40% atau sekitar US$30.000 – US$35.000 per bulan.
Produknya digemari pasar Inggris, Vietnam, Belgia dan sejumlah negara lainnya. Sampai karpet kayu itu tiba di pasar Amerika Serikat, Djunaedi kembali berhadapan dengan tantangan gaya hidup konsumen.
“Pasar Amerika ternyata tidak cocok untuk wooden carpet karena orang di sana kan tetap pakai sepatu di rumah, jadi kalau injak karpet kayu ya cepat rusak,” ujarnya.
Olah Serat Pohon Pisang Impor Jadi Produk Ekspor
Gaya hidup warga Paman Sam itu pula yang membuat Djunaedi mengenal bahan baku abaca fiber alias serat pohon pisang. Bahan baku untuk kerajinan produksinya itu dinilai lebih cocok untuk pasar AS lantaran lebih awet dan tak gampang rusak.
“Saya impor abaca dari Filipina dan Ekuador. Dalam sebulan saya bisa impor 1 kontainer atau sekitar 11 ton abaca fiber,” katanya.
Djunaedi mengklaim pihaknya merupakan satu-satunya produsen karpet hand made berbahan baku abaca di Tanah Air. Harga karpet yang dijual bervariasi,bergantung pada ukuran,di mana ia banderol Rp3 juta per meter.
“Produk kami ini bisa customize, makanya kami bikin ukurannya macam-macam, paling kecil 1x2 meter dan paling besar yang 9x9 meter,” katanya.
Dia mengaku dirinya sempat berupaya mengembangkan sendiri abaca di dalam negeri. Namun, Djunaedi menilai kualitas tanaman berbeda dengan yang ia dapat dari negara lain, meskipun bibitnya berasal dari Filipina dan Ekuador.
“Saya sudah coba tanam di Curup, Provinsi Bengkulu walaupun bibitnya sama tapi hasilnya beda karena bergantung pada jenis tanah. Makanya demi menjaga kualitas produk, kami mengimpor bahan baku,” katanya.
Dia mengatakan biaya produksi dengan menggunakan bahan baku impor juga perlu ditambah dengan pembayaran bea masuk yang harus disetor Djunaedi ke negara.
Menurut dia, dalam satu tahun dirinya harus membayar US$50.000 untuk bea masuk yang sebesar 5%.
Sementara itu, Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Bea Cukai Palembang, Dwi Harmawanto, mengatakan CV Natural sebetulnya berpotensi kuat mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dari Bea Cukai.
“Fasilitas KITE ini dapat berupa pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PPN atau PPNBM atas impor barang dan bahan untuk diolah dengan tujuan ekspor, seperti yang dilakukan CV Natural,” katanya.
Menurut Dwi, fasilitas kepabeanan tersebut sangat bagus untuk IKM, dengan tujuan daya saing atas barang tersebut di negara tujuan, dan menjaga keseimbangan kelangsungan industri dalam negeri.
Oleh karena itu, dia mengemukakan, pihaknya pun mulai gencar menggali potensi IKM yang berorientasi ekspor untuk kemudian menawarkan fasilitas KITE bagi industri tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, terdapat 33.412 perusahaan IKM yang beroperasi di Palembang per tahun 2018. Sementara untuk IKM yang tersebar di seluruh provinsi Sumsel mencapai total 154.601 perusahaan.