Bisnis.com, PALEMBANG - Bank Indonesia getol mengedukasi para penggiat komoditas kopi di Sumatra Selatan. Ternyata, ini bukan semata aksi sosial atau sekadar mengikuti tren kopi yang belakangan makin kekinian. Lebih dari itu, untuk menjaga nilai tukar.
Sudah 1,5 tahun terakhir ini Mulustan, petani kopi di Desa Gunung Agung, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan, beralih menanam kopi arabika.
Harga jual yang lebih tinggi dan pasar yang luas hingga mancanegara membuat dirinya memantapkan hati memelihara varietas itu ketimbang robusta.
“Kami baru dapat informasi bahwa kopi yang paling mahal itu jenis arabika dan pasarnya luas sekali terutama untuk ekspor,” katanya kepada Bisnis.com beberapa waktu lalu.
Mulustan mengatakan petani di Semendo bisa menjual biji kopi arabika di atas Rp50.000 per kg, sedangkan kopi robusta hanya berkutat di angka Rp18.000—Rp20.000 per kg.
Dia mengatakan saat ini baru terdapat dua kelompok tani yang menanam arabika, yakni di Desa Gunung Agung dan Desa Plakat dengan luasan masing-masing sekitar 7 hektare—10 hektare.
Beralih dari robusta ke arabika, kata Mulustan, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlakuan budidaya dua jenis varietas itu berbeda dan perlu kemauan kuat dari petani.
Menurut petani kelahiran 1975 silam itu, mayoritas petani di Semendo belum yakin terhadap tanaman arabika karena beberapa kali menanam varietas itu berujung gagal. Cara perawatan yang tidak tepat menjadi penyebab utama panen arabika tidak sesuai harapan petani Semendo.
Beruntungnya, petani di sentra kopi di Bumi Sriwijaya itu mendapat perhatian dari banyak pihak untuk mendorong pengembangan kopi berorientasi ekspor tersebut. Salah satunya Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sumatra Selatan.
Mulustan mengatakan, bank sentral terjun langsung menyambangi petani kopi di Semendo untuk mengembangkan kopi arabika sejak 2017 lalu.
“BI tidak cuma memberi alat dan mesin tetapi juga pendampingan langsung ke petani. Itu penting sekali karena percuma kalau hanya kasih duit dan alat tanpa pendampingan,” katanya.
Bahkan, kata dia, BI telah membentuk demonstration plot (demplot) pengembangan teknik stek sambung pucuk untuk pengalihan dari robusta ke arabika di tiga desa.
Adapun ketiga desa itu, yakni Desa Sigamit, Desa Rekima Jaya, dan Desa Datar Lebar dengan luasan demplot 1 hektare tiap desa.
Ketua Koperasi Petani Kopi Meraje itu menambahkan saat ini produksi kopi arabika Semendo masih tergolong kecil, yakni baru sekitar 5 ton hingga 10 ton per tahun.
“Oleh karena itu, kami sangat berharap dengan adanya perluasan lahan bisa mendongkrak produksi karena potensi untuk arabika ini luas sekali,” katanya.
Strategi Bank Indonesia
Sementara itu, Deputi Direktur Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sumsel, Hari Widodo, mengatakan bank sentral berupaya mendorong sumber pertumbuhan ekonomi baru di daerah.
Dia mengatakan pihaknya telah melakukan identifikasi bahwa terdapat empat sumber pertumbuhan baru untuk Sumsel, antara lain pariwisata, perikanan darat, dan kopi.
Harapannya, kata Hari, sumber pertumbuhan baru itu dapat mendongkrak ekspor yang selama ini hanya mengandalkan komoditas klasik, seperti karet, sawit, dan batubara yang rentan terhadap isu global.
“Selain sumber pertumbuhan baru bagi kawasan yang bersangkutan, juga arahnya nanti kepada ekspor. Ketika ekspor didorong, maka akan ada devisa yang masuk ke Indonesia,” katanya.
Hari menjelaskan ketika devisa dari ekspor kopi masuk tentu akan berdampak positif terhadap cadangan devisa, suplai valuta asing (valas) akan bertambah di pasar domestik.
Dengan demikian, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang masih membayangi perekonomian Tanah Air diharapkan dapat tergerus. Ujungnya, stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing pun dapat terjaga.
“Memang ujung-ujungnya akan terkait dengan tujuan BI untuk memelihara dan menjaga stabilitas nilai tukar. Tantangannya kan bagaimana mendorong untuk ekspor yang bisa menjadi penekan CAD,” kata Hari.
Dia melanjutkan tujuan bank sentral untuk memelihara dan menjaga stabilitas nilai tukar dituangkan dalam berbagai kebijakan, baik dalam bentuk peraturan maupun teknis.
Hari menilai langkah BI Sumsel dengan mendorong pengembangan komoditas kopi sebagai langkah teknis dari daerah untuk berkontribusi terhadap ekspor dan stabilisasi nilai tukar.
Tentu saja, kata dia, dengan menggandeng lembaga dan pihak terkait, mulai dari pemerintah daerah hingga pelaku usaha di lapangan.
“Memang BI menyadari tidak bisa menyelesaikan dengan jumlah luasan yang banyak, tapi kami mendorong dan membangun sinergi dengan yang lain,” katanya.
Oleh karena itu, dia menambahkan BI cenderung memberikan bantuan teknis, mulai dari pembuatan demplot hingga pendampingan terkait budidaya kopi yang benar atau penanganan pascapanen.
Dengan harapan, produksi kopi bisa meningkat dan berkualitas sehingga diterima pasar mancanegara.
Berdasarkan catatan Dinas Perkebunan Sumsel, ekspor kopi provinsi itu baru menyentuh angka 2.194 ton atau senilai Rp39,50 miliar pada tahun lalu. Padahal, Dewan Kopi Sumsel menyebut potensi ekspor kopi bisa mencapai hingga 150.000 ton per tahun.
Sementara berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, ekspor kopi sepanjang Januari–Oktober 2019 mencapai US$1,91 juta. Komoditas itu berkontribusi sekitar 0,06% terhadap total ekspor nonmigas Sumsel.
Bank sentral berharap pengembangan kopi arabika bisa membuat komoditas itu mencapai potensi produksinya hingga memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor.
Strategi lain yang dikembangkan BI Sumsel adalah membentuk showcase untuk komoditas kopi asli Bumi Sriwijaya, yakni Rumah Kopi Sumsel di kawasan wisata Benteng Kuto Besak Palembang.
“Jadi Rumah Kopi Sumsel itu fasilitas yang kami berikan dengan tujuan menjadi gate (gerbang) akses perdagangan kopi premium Sumsel keluar, baik [pasar] domestik dan global,” katanya.
Saat ini, terdapat lima jenis kopi asli Sumsel yang dipamerkan serta bisa dinikmati pengunjung di Rumah Kopi Sumsel, yakni kopi robusta dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, robusta Empat Lawang, robusta Pagar Alam, robusta Lahat, serta robusta dan arabika Semendo (Muara Enim).
Sebelumnya, Kepala Perwakilan BI Sumsel, Yunita Resmi Sari, mengatakan klaster kopi yang dikembangkan pihaknya tak hanya fokus di bagian peningkatan produksi dan mutu, melainkan juga terkait rantai nilai komoditas tersebut.
“Sehingga nantinya kopi Sumsel ini bisa memenuhi standar internasional karena orientasi pasar kopi adalah ekspor,” katanya.
Dia menjelaskan bank sentral memang memiliki program pengembangan sektor riil melalui pendekatan klaster.
Meskipun pola klaster ditujukan untuk komoditas yang bersinggungan dengan inflasi, program itu juga dilakukan pada komoditas yang berorientasi ekspor atau komoditas unggulan wilayah.
Sebelumnya, Ketua Dewan Kopi Sumsel M. Zain Ismed mengatakan, untuk mewujudkan besaran potensi ekspor itu perlu upaya yang kuat terkait pengembangan kopi.
“Terutama di bagian hulu [pertanian] harus kita perbaiki karena sebagian besar kebun kopi di Sumsel ini sudah tua sehingga berpengaruh terhadap produktivitas,” katanya.
Ismed mengatakan produktivitas kebun kopi di Sumsel masih sangat jauh dari harapan, yakni baru sebesar 0,6 ton sampai 0,9 ton per hektare. Berbeda dengan di Vietnam yang bisa menghasilkan kopi sebanyak 3 ton per hektare per tahun.
“Artinya budidaya bisa ditingkatkan lima kali lagi dan kita bisa menyaingi Vietnam. Namun demikian, di sana budidayanya corporate farming sedangkan kita kebun rakyat, perlu keterlibatan banyak pihak,” katanya.
Menurut Ismed, pasar ekspor kopi Sumsel yang dikenal dengan jenis robusta Pagar Alam, Lahat, Muara Enim, Semendo, dan Empat Lawang itu cocok untuk ditawarkan ke pasar, seperti Timur Tengah, Mesir, dan China.